Kabelnya Sun Cable Bakal Membentang Sepanjang 4500 Kilometer Untuk Listr...
95% kebutuhan listrik Singapura dipasok oleh Pembangkit
Listrik Tenaga Gas. Sebab negara kecil di Asia Tenggara ini tidak memiliki
banyak alternatif dalam strategi ketahanan energi dalam negerinya. Dengan
ketersediaan lahan yang amat terbatas, maka model pembangkit listrik energi
terbarukan yang lagi nge-trend saat ini seperti Tenaga Surya atau Bayu
merupakan sesuatu yang mustahil dibangun di dalam negerinya sendiri.
Paling-paling cuma bisa diaplikasikan pada PLTS Atap di bangunan gedung yang
hasilnya pun tak seberapa.
Jadilah kemudian muncul ide untuk melistriki Singapura dari
luar negeri dengan cara mengalirkannya melalui kabel listrik bawah laut.
Australia – ASEAN Power Link Project adalah sebuah proyek
EBT yang paling ambisius di Asia-Pasifik yang mana proyek ini sudah gaung-gaungkan
sejak bulan Oktober tahun 2020. Tujuannya adalah untuk melistriki Singapura
dengan PLTS 10 GW di Newcastle Waters Station yang terletak di Northern
Territory Australia.
Kepada kantor berita ABC Rural, Sun Cable selaku kontraktor
proyek tersebut mengatakan bahwa PLTS tersebut membutuhkan lahan sebesar 12.000
hektar atau setara dengan 120 km persegi. Pembangkit ini nantinya akan memasok
energi listrik ke Singapura melalui kabel bawah laut yang membentang di bawah
teritorial laut Indonesia.
Agar sistem transmisi PowerLink ini berfungsi maka Sun Cable
juga akan membangun fasilitas penyimpan daya (baterai) yang akan ditempatkan di
pantai utara Australia yang berada di dekat Kota Darwin sebelum dialirkan ke
Singapura via kabel bawah laut.
Kabel bawah laut tersebut akan mengekspor listrik dari
Australia ke Singapura melalui jaringan HVDC (High Voltage Direct Current) yang
membentang sepanjang 3.700 kilometer mulai dari Laut Timor hingga ke Laut Jawa
dan berakhir di Selat Singapura.
Bagaimana caranya Sun Cable yakin jika arus listrik bisa
mengalir melalui kabel yang panjangnya setara dengan jarak antara pantai barat
dan pantai timur Amerika Serikat?
Untuk mengatasi kehilangan arus dalam jaringan kabel, maka
pada sistem transmisi diletakkan travo step-up atau peningkat arus dan travo
step-down atau penurun arus. Menjelang masuk ke kabel Saluran Udara Tengangan
Ekstra Tinggi (SUTET), listrik dari pembangkit terlebih dahulu masuk ke travo
Step-Up. Sedangkan ketika hendak didistribusikan konsumen akhir tegangan
listrik diturunkan kembali via travo Step-Down. Sebab, semakin tinggi tegangan
arus, maka semakin kecil jumlah energy loss selama proses transmisi
berlangsung.
Mengingat arus listrik pada dasarnya memiliki dua bentuk
aliran, yaitu Alternating Current (AC) alias Arus Bolak Balik dan Direct
Current (DC) atau Arus Searah. Arus AC akan mengalir dalam bentuk kurva
polynomial sepanjang rentang waktu tertentu. Sedangkan arus DC mengalir searah
seiring waktu, yang jika digambarkan sebagai kurva maka akan membentuk sebuah
garis lurus.
Kebanyakan sistem transmisi yang kita gunakan saat ini adalah
sistem AC dimana energi listrik dibangkitkan, ditransmisikan, dan
didistribusikan adalam bentuk arus AC. Ada banyak cerita dibalik fakta mengapa
sistem AC jadi mendominasi industri energi ketimbang model sistem DC. Bahkan
ceritanya sudah dikemas dalam bentuk film box office yang berjudul The Current
War. Apapun sisi dramanya, cerita punya cerita tetaplah alasan keekonomian jadi
yang paling mendasar mengapa sistem AC lebih unggul ketimbang sistem DC.
Untuk jarak pendek, total biaya yang harus dikeluarkan untuk
membangun transmisi dengan sistem AC terbukti jauh lebih murah ketimbang sistem
DC. Dan ternyata peralatan sistem AC lebih menguntungkan bagi bisnis ketimbang
peralatan sistem DC. Menjadikan sistem AC keluar sebagai pemenang dalam
“pertempuran” antara dua jenis aliran dalam arus listrik.
Namun pertempuran AC-DC belumlah usai karena pembangkit
listrik yang ekonomis adalah pembangkit listrik yang jangkauan layanannya yang
sangat luas dengan target bisa mencakup wilayah antar negara dan antar benua.
Dengan begitu investor dapat membangun pembangkit besar terpusat pada satu
daerah untuk melistriki seluruh region layanan pembangkit tersebut.
Untuk itulah mengapa para ilmuan tetap bersikukuh untuk
mengembangkan sistem HVDC, yaitu High Voltage DC system atau sistem DC
bertegangan tinggi. Jaringan transmisi HVDC Gotland yang berada di pesisir
timur Swedia merupakan sistem DC bertegangan tinggi pertama di dunia yang telah
beroperasi secara komersial lebih dari setengah abad sudah lamanya.
Transmisi Gotland 1 beroperasi pada tahun 1954, berhasil
menghantarkan 20 MW energi listrik dari Mainland ke Gotland yang terhubung
dengan kabel HVDC sepanjang 98 km. Disusul dengan Gotland 2 dan 3 pada tahun
1983 dan 1987 dimana keduanya mentransmisikan listrik sebesar 130 MW melalui
kabel 92.9 km dan 98 km.
Perbedaannya dengan sistem HVAC ada pada posisi DC Converter
yang terletak setelah travo Step-Up dan sebelum travo Step-Down. Proses
konversi dari AC ke DC ini kemudian membuat arus yang dialirkan pada jaringan
transmisi bertegangan tinggi adalah arus searah.
Ismunandar dalam tesisnya ketika mengambil gelar M.Sc di
Deflt University, berhasil mengungkap perbandingan antara biaya investasi kabel
HVAC dan HVDC untuk jarak jauh. Ditemukan bahwa titik breakeven ada pada jarak
80 km, dimana setelah melampaui titik breakeven maka kabel HVDC akan jauh
unggul ketimbang HVAC dari sisi biaya investasi.
Dalam hitungan yang lain disebutkan bahwa untuk jarak
jangkauan 2000 km dengan transminsi 800 kV, sistem AC akan kehilangan energi
sebesar 10% sedangkan sistem DC hanya 5% saja padahal Daya yang dibebani pada
sistem AC kurang dari setengah Daya yang harus ditanggung oleh sistem DC.
Berpatokan pada hasil perhitungan ini maka bisa tebak bahwa jaringan transmisi
Australian-ASEAN Power Link 4500 km hanya akan menderita kehilangan energi
sebesar 10% saja ketika tiba ditujuan akhir yaitu Singapura.
Tanpa sistem HVDC maka model pembangkit yang memanfaatkan
energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB tidak akan pernah bisa menandingi
pembangkit fosil dari sisi biaya transmisi. Bukan hanya sebagai kabel daratan,
HVDC sangat cocok untuk diaplikasikan pada jaringan kabel bawah laut.
Saat ini penggunaan model sistem HVDC dengan kabel bawah
laut umumnya baru diterapkan di Eropa Barat, dan sudah menunjukkan
kepiawaiannya sebagai jaringan transmisi jarak jauh antar negara dalam satu
kawasan. Australia sendiri juga sudah menggunakan kabel bawah laut HVDC untuk
melistriki Pulau Tasmania dari Loy Yang Power Station di Victoria, yang
membentang melintasi Selat Bass sepanjang 370 km.
Loy Yang Power Station ini konon dimiliki oleh perusahaan
asal Singapura. Jadi, bisnis listrik Singapura di Australia bukanlah baru
wacana tapi memang sudah terlaksana.
Untuk mengantarkan listrik melalui kabel bawah laut tentu
ada dua hal utama yang perlu diperhatikan. Pertama, jarak. Walau terbukti
ekonomis dalam rentang jarak melebihi 80 km, tapi merawat kabel laut sepanjang
1000 km tentu akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan merawat jaringan yang
panjangnya 2000 km. Artinya, mencari rute terdekat juga menjadi prioritas
ketika hendak merencanakan pembangunan kabel bawah laut HVDC. Yang kedua, hal
selanjutnya yang harus diperhatikan adalah mencari lantai samudera yang rata,
dan menghindari daerah naik turun di bawah laut.
Dengan dua pertimbangan tersebutlah maka jalur yang terpilih
adalah rute yang dimulai dari Darwin, melintasi Selat Timor, lalu masuk ke Laut
Jawa melalui Selat Bali-Lombok, dan finish di Selat Singapura. Rata-rata
kedalaman laut yang dilintasi adalah 200 meter, sebuah kedalaman yang relatif
cukup dangkal buat transmisi kabel bawah laut. Tapi ada satu titik dimana
kedalaman lautnya bisa menjangkau 1 mil atau setara 1.6 km yaitu ketika hendak
melewati Celah Timor, disinilah letak tantangan berat bagi misi Australia –
ASEAN Power Link Project.
Untungnya, membangun kabel di laut dalam bukanlah sesuatu
yang baru dalam industri energi dunia karena sudah pernah dilakukan oleh orang
Italia. Kabel bawah laut yang menghubungkan antara Lazio dan Pulau Sardinia
juga melintasi laut dengan kedalaman rata-rata sejauh 1 mil. Tentunya,
pengalaman orang Italia itu akan menjadi pedoman bagi Sun Cable dalam proyek
ambisiusnya kali ini.
Total biaya investasi sistem HVDC diperkirakan mencapai
angka 5.6 miliar USD, dengan rincian 24 juta untuk Survey, 4.608 miliar untuk
kabel, dan sisanya merupakan biaya instalasi. Jika ditambahkan dengan biaya
investasi PLTS maka biaya yang harus dikeluarkan oleh Sun Cable tak kurang dari
10 miliar USD.
Ada dua orang miliarder Australia yang mendukung pendanaan
proyek gila-gilaan yang satu ini.
Pertama, Mike Cannon-Brookes, Cofounder dan Co-CEO
Atlassian, yaitu perusahaan asal Australia yang mengembangkan produk untuk
pengembang perangkat lunak, manajemen proyek, dan manajemen konten. Atlassian
terkenal berkat aplikasi pelacakan isunya, Jira, serta produk kolaborasi tim
dan wikinya, Confluence. Atlassian melayani sekitar 130.000 klien. Untuk tahun
2020 saja, Atlassian mencatat pendapatan sebesar 1.6 miliar USD.
Pengusaha yang kedua adalah Andrew Forrest, pendiri Fortescue
Metals Group (FMG), perusahaan tambang yang pada tahun 2017 menjadi produsen
bijih besi terbesar keempat di dunia setelah BHP, Rio Tinto, dan Vale.
Pendapatan FMG pada tahun 2020 tercatat sebesar 17.62 miliar AUD atau setara dengan
12.96 miliar USD.
Wilayah Utara Australia secara teknis memang sangat cocok
untuk dijadikan sebagai lumbung energi surya di wilayah Asia Pasifik. Selain
mempunyai tingkat radiasi matahari secara tahunan yang sangat tinggi, daerah
ini juga hampir bisa dikatakan tak berpenghuni. Oleh sebab itu maka pemilihan
titik lokasi pembangkit relatif lebih mudah ditentukan ketimbang dengan wilayah
di Indonesia maupun Malaysia yang secara jarak sangat dekat dengan Singapura.
Groundbreaking proyek ini direncanakan akan dilakukan pada
tahun 2023, dan selesai pada tahun 2027. Pada akhirnya, keberhasilan Sun Cable
dalam proyek ini akan merubah paradigma industri energi global sebab mentransfer
energi final dalam bentuk aliran elektron adalah cara yang jauh lebih modern ketimbang
dengan mengirimkannya dalam bentuk bahan bakar cair layaknya BBM dan Gas. Hal
ini juga dapat menjanjikan kestabilan geopolitik antar negara di wilayah
ASEAN-Pasifik karena masing-masing saling memiliki ketergantungan pada pihak
lain.
Komentar
Posting Komentar