The Belt and Road Initiative (BRI) setelah 8 tahun diumumkan #1
Strategi The Belt and Road Initiative (BRI) untuk
pertama kalinya diumumkan oleh Presiden Xi Jinping dalam kunjungan resminya ke
Indonesia dan Kazakhstan pada tahun 2013.
Ketika di Kazakhstan, ia menguraikan visinya untuk
memulihkan rute perdagangan darat dari China ke Asia Tengah dan Eropa — yang
memang dikenal sebagai “Jalan Sutra” kuno via daratan.
Sedangkan di Indonesia, Presiden Xi Jinping menostalgiakan
kembali rute “jalan sutra maritim”, yaitu sebuah koridor laut di selatan China
yang menghubungkan pelayaran dari Asia Timur ke Timur Tengah dan Eropa.
Menurut worldhistory, kedua rute tersebut memang sudah
dikenal sebagai jalur penghubung antara peradaban Timur dan Barat sejak 150
Tahun SM hingga tahun 1453 M.
Dalam tujuh tahun pelaksanaannya, The Belt and Road
Initiative tersebut menjadi cukup kontroversial, terutama di Barat.
Kontroversi ini dipicu oleh kurangnya transparansi yang memang jadi ciri khas
China dalam mengelola informasi dalam negeri mereka.
Otorita China kerap kali mempersulit para pihak dalam memperoleh
informasi yang valid tentang berapa banyak sudah pembiayaan yang diberikan
dalam program tersebut, serta apa saja jenis proyek-proyek yang dibiayai serta apa
saja persyaratannya.
Untungnya, temuan para akademisi yang penasaran dengan BRI
ternyata konsisten pada setiap segmentasinya.
Program , The Belt and Road Initiative sejatinya
bukanlah program yang terikat dengan penamaannya karena sifatnya global, tidak
dibatasi pada koridor tertentu. Fokus utama dari program jalur sutera modernnya
China adalah untuk mendanai infrastruktur.
Total pendanaan yang telah dikucurkan rata-rata berkisar
antara $50-100 miliar per tahun dimana dua pertiganya digunakan untuk infrastruktir
kelistrikan dan transportasi. Sebagian besar pinjaman diberikan dalam dolar
dengan persyaratan yang lebih murah hati ketimbang yang bisa diberikan oleh
investor swasta kepada negara berkembang.
Namun, jika dibandingkan dengan pendanaan melalui skema
negara Barat ternyata skema yang ditawarkan China jadi lebih mahal.
Sejumlah klien utama China adalah negara terisolir dari
pergaulan internasional seperti Iran dan Venezuela. Disamping negara-negara
demokrasi seperti Afrika Selatan, Kenya, Tanzania, Indonesia, dan Brasil.
Jika saja biaya transportasi dari China ke Eropa dapat
dikurangi melalui peningkatan infrastruktur maka benefit dari program BRI ini
bukan hanya akan dinikmati oleh China semata akan tetapi juga dapat dinikmati
oleh negara-negara yang diutangi serta negara-negara Eropa tak terkecuali.
Akan tetapi studi Bank Dunia pada tahun 2019 menemukan bahwa
dalam banyak kasus, hambatan kebijakan lebih besar dampaknya pada perdagangan
daripada hambatan infrastruktur. Hambatan kebijakan itu bisa terjadi pada tarif
impor, pembatasan investasi, keterlambatan proses bea cukai, birokrasi, dan
korupsi, yang suka tidak suka memaksa eksportir mengeluarkan biaya berlebih secara
dramatis.
Poin yang jelas dari studi Bank Dunia tersebut adalah bahwa
peningkatan iklim investasi merupakan pelengkap atau suplemen khusus yang
diperlukan untuk memastikan outcome dari investasi di bidang infrastruktur.
Salah satu cara praktis untuk melakukannya adalah melalui
perjanjian perdagangan seperti Kemitraan Trans-Pasifik yang melibatkan beberapa
negara berkembang penting seperti Kolombia, Malaysia, Peru, dan Vietnam.
Amerika Serikat sebenarnya bisa saja merangkul kelompok
ekonomi Asia-Pasifik ini lebih dahulu tetapi tidak melakukannya. Sementara
China dengan kesungguhannya telah mencapai kesepakatan liberalisasi perdagangan
dengan ASEAN, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Dengan kata lain, China sudah meletakkan pijakan kakinya
pada tempat yang kuat sebagai langkah awalnya untuk menangkan pengaruh “A Great
Power” dalam perang pengaruh di era modern.
Wajarlah jika kemudian pejabat-pejabat Amerika Serikat mengkritik
program BRI dengan narasi menakut-nakuti yaitu disebut-sebut “diplomasi jebakan
utang”.
Narasi yang berlebihan tentunya karena sebagian besar negara
yang meminjam dari China juga meminjam dari donor Barat, bank multilateral, dan
pemegang obligasi swasta.
Yang jelas, China memulainya dari Indonesia dan Kazakhstan, untuk menguasasi Asia, karena penguasa Asia akan menguasai Dunia.
Komentar
Posting Komentar