Banjir Besar Serentak, Dari Jerman sampai ke China: Masihkah Kita Meragukan Bahaya Perubahan Iklim?


Dalam pekan terakhir di bulan ini, bencana banjir mematikan yang telah menjungkirbalikkan kehidupan di China dan Jerman terjadi dalam selang waktu yang hampir bersamaan.

Pada tanggal 17 Juli 2021, kantor berita Reuters melaporkan bahwa banjir bandang sedang menghantam bagian barat Jerman dan Belgia. Sedikitnya 157 orang meninggal atau hilang disapu arus deras yang dating secara tiba-tiba.

Selang tiga hari kemudian, Reuters kembali merilis berita tentang kepanikan penduduk kota Zhengzhou yang sedang terjebak dalam terowongan bawah tanah (subway) akibat banjir besar yang juga datang dengan tetiba tak disangka bakal jadi bencana. Roda ekonomi di kota industri yang terletak di tengah-tengah China itu terpaksa berhenti total. Kerugian finansial akibat banjir bandang ini diperkirakan mencapai 2,7 triliun rupiah.

Fenomena ini telah mengingatkan kita kembali akan kebenaran bahaya perubahan iklim, dimana para ilmuan telah mewanti-wanti para pemimpin dunia akan peningkatan kejadian cuaca ekstrem akibat dari pemanasan global.

Kenaikan 1 derajat Celsius temperatur global saja sudah bisa membuat kapasitas penyimpanan air dalam atmosfer meningkat sebesar 7%. Sedangkan menurut para klimatologis, temperature global saat ini sudah meningkat hingga 1.2 derajat jika dibandingkan dengan kondisi era pra-industri.

Dalam kondisi bumi yang semakin menghangat maka atmosfer bersifat seperti layaknya busa spons dalam hal caranya menyimpan air, yang ketika diperas akan menumpahkan air secara sekoyong-koyong tanpa bisa dibendung. Curah hujan yang sepatutnya diterima selama satu tahun bisa terjadi dalam beberapa hari saja.

Lantas apa sebenarnya yang di maksud dengan istilah perubahan iklim dan pemanasan global? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita harus memahami makna istilah gas rumah kaca (greenhouse effect).

Atmosfer bumi terbentuk dari selubung tipis lapisan gas yang disebut oleh para ilmuan sebagai lapisan gas rumah kaca. Temperatur permukaan setiap planet dipengaruhi oleh ketebalan atmosfer dan kandungan gas dalam atmosfernya tersebut.

Planet Mars, atmosfernya tipis, kandungan gas CO2 nihil sebab seluruh CO2 di planet merah ini berada dipermukaan tanah. Alhasil, temperatur permukaan rata-rata di Mars adalah minus 50 derajat Celsius.

Sedangkan di planet Venus, kandungan CO2 dalam atmosfernya yang tebal mencapai level 96%. Sehingga rata-rata temperaturnya mencapai angka 420 derajat Celsius, sebuah kondisi yang tidak memungkinkan bagi kelangsungan sebuah kehidupan.

Dan dalam atmosfer Bumi ternyata kandungan CO2-nya hanya 0.03%, yang menjadi sebab mengapa temperatur rata-rata Bumi adalah hanya 15 derajat Celcius saja.

Tanpa kandungan CO2 sama sekali, maka planet akan membeku seperti yang terjadi pada planet Mars. Terlalu banyak CO2, planet akan mendidih layaknya planet Venus yang suhu globalnya diatas 400 derajat Celsius. Kesimpulannya, peningkatan konsentrasi gas CO2 dalam atmosfer Bumi memiliki hubungan searah dengan temperatur global Bumi. Fenomena ini kemudian dinamai sebagai ‘Pemanasan Global’ atau Global Warming.

Gas CO2 membuat panas matahari yang diserap oleh permukaan Bumi menjadi terperangkap dalam atmosfer Bumi. Menghangatnya temperatur atmosfer tersebut akan membuat penguapan semakin tinggi, yang berakibat pada meningkatnya curah hujan serta cuaca ekstrem.

Jadi, istilah perubahan iklim dan pemanasan global tersebut merupakan kelanjutan dari proses meningkatnya kandungan konsentrasi gas CO2 dalam atmosfer Bumi atau yang disebut sebagai efek gas rumah kaca.

Efek gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global, kemudian pemanasan global secara perlahan namun pasti akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim Bumi. Hasil akhirnya adalah cuaca ekstrem, berupa kekeringan yang mematikan di satu sisi bagian Bumi, namun di bagian lainnya akan dilanda hujan lebat dalam waktu singkat yang curahnya setara dengan curah hujan rata-rata tahunan di tempat itu.

Sekedar mengingatkan kembali, sebelum bencana banjir melanda Eropa dan China, Amerika Serikat dan Kanada beberapa pekan sebelumnya lebih dulu diterpa bencana gelombang panas yang memantik peristiwa kebakaran lahan.

Jadi, masihkah kita meragukan bahaya perubahan iklim?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia