Kolonialisme, Kemiskinan, dan Energi Fosil

Embed from Getty Images

 

Kutub pertumbuhan ekonomi global dapat dibagi dalam dua kategori utama, yaitu: belahan Selatan dan belahan Utara.

Belahan Utara merupakan daerah dimana pertumbuhan ekonomi meningkat begitu pesat sejak abad 19, sebagai hasil dari revolusi industri dan kesuksesan kolonialisme.

Kolonialisme yang dimaksud disini adalah upaya politik dari negara-negara belahan Utara, yang terutama sekali dimotori oleh Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, dan Belanda; untuk mengintegrasikan wilayah-wilayah kaya sumber daya alam di belahan dunia bagian Selatan kedalam kekaisaran khayalan mereka.

Padahal dalam kenyataannya, kolonialisme tak lebih dari sekedar pembantaian dan perbudakan umat manusia di belahan Selatan demi kelangsungan kemewahan umat manusia di belatan Utara dunia.

Kalaulah di era abad ke-14 terbukti bahwa negara paling kaya ketika itu adalah Kekaisaran Mali saat dipimpin oleh Mansa Musa,  maka Afrika di abad ke-19 hanyalah sebuah negeri tak berdaya yang dicabik-cabik oleh perbudakan, pembantaian, dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan oleh bangsa Eropa.

Namun demikian, ada fakta unik menarik lainnya yang lebih dari sekedar memori kegetiran masa silam dari kolonialisme tersebut.

Patrick Greiner, seorang Sosiolog dari Vanderbilt University, mengungkapkan bahwa problematika kemiskinan dan ketergantungan pada energi fosil sejatinya merupakan warisan dari kolonialisme. Tulisan lengkap beliau bisa diakses pada laman Theconversation.

Ketika bahan bakar fosil jadi pendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara kaya di belahan Utara dunia pada abad ke-19 dan ke-20, penduduk negeri di belahan Selatan sebagian besarnya tetap terpaksa untuk terpuruk dalam kemiskinan parah.

Hari ini, para aktifis di Eropa sadar bahwa ektraksi berlebihan sumber energi minyak bumi, batu bara, dan gas alam ternyata telah memanaskan planet bumi ke level yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan seluruh umat manusia. Ilmuan kemudian bersepakat bahwa penggunaan bahan bakar fosil harus segera dikurangi untuk memperlambat perubahan iklim ini.

Akan tetapi pada saat yang bersamaan ternyata lebih dari 40% populasi manusia di dunia harus bertahan hidup dengan pendapatan yang kurang dari US$5,50 per hari. Artinya, lebih dari sepertiga penduduk bumi masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan pokok harian semata, terutama di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika serta Amerika Latin.

Uniknya, bahan bakar fosil hingga saat ini masih menjadi sumber energi termurah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit negara-negara berkembang takkan mungkin mau meninggalkannya begitu saja.

Maka cita-cita pembangunan berkelanjutan serta transisi energi tidak akan mungkin tergapai sepanjang kemiskinan belum terentaskan.

Upaya internasional seperti U.N. Green Climate Fund tidak akan memberi makna yang berarti bagi proses transisi energi selama tidak menyertakan solusi pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang.

Dapatkah kita menemukan cara untuk mengentaskan kemiskinan dari hampir separuh populasi dunia dengan tetap mengurangi penggunaan bahan bakar fosil? Sedangkan ini semua merupakan bayang-bayang kolonialisme yang prosesnya berlangsung hingga hampir 6 abad lamanya.

Sejak Zaman Penemuan (Age of Discovery), yaitu ketika penjelajah Eropa mulai memperluas perdagangan dan mengklaim koloni pada 1400-an, masalah kelangkaan sumber daya di Eropa telah dikelola melalui kebijakan penaklukan kolonial dan integrasi ekonomi.

Selama ratusan tahun kemudian sumber daya alam dari bagian Selatan diekspor ke negara-negara industri seperti Jerman dan Amerika Serikat dimana komoditi tersebut dijual dengan harga sangat rendah, dan tak sepadan dengan produk jadi yang dipaksakan untuk di impor oleh penduduk negeri bagian Selatan dunia yang malang tersebut.

Pendekatan politik Eropa ini tak ayal lagi segera memiskinkan negara-negara kaya di bagian Selatan dunia dengan cara merampas kekayaan alam mereka secara cuma-cuma. Lalu dilanjutkan lagi dengan pengenalan sistem lembaga keuangan internasional pasca Perang Dunia II, dimana negara-negara berkembang di bagian Selatan semakin menderita karena terpasung dalam siklus pertukaran mata uang yang tidak setara.

Seperti pepatah menabur angin menuai badai maka hasil dari kolonialisme itu sudah kita rasakan bersama saat ini secara global yaitu: Kemakmuran di bagian Utara, Gonjang Ganjing (destabilisasi) serta Kemiskinan di Selatan, dan perubahan iklim global.

Pada akhirnya, membantu negara-negara miskin supaya bisa berkembang secara berkelanjutan adalah kepentingan negara-negara kaya saat ini, karena perubahan iklim akan mempengaruhi kehidupan umat manusia secara global, tak terkecuali di belahan bumi bagian Utara sekalipun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia