Sektor Ketenagakerjaan pada Bisnis Energi Terbarukan di Indonesia
Pada tahun 2020 yang silam, Global Green Growth Institute (GGGI) menerbitkan GGGI COUNTRY REPORT yang disusun oleh BAPPENAS berkenaan dengan asesmen sektor ketenagakerjaan
pada pemanfaatan EBT sebagai energi primer pembangkit listrik di Indonesia.
GGGI adalah organisasi internasional berbasis perjanjian
yang berkantor pusat di Seoul, Korea Selatan. Organisasi ini bertujuan untuk
mempromosikan “green growth”, yaitu sebuah paradigma kesejahteraan global yang
ditandai dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Adapun analisis yang dilakukan oleh BAPPENAS dalam GGGI
COUNTRY REPORT yang dimaksud adalah didasarkan pada dua jenis skenario besar ketenagalistrikan
yang ada di Indonesia. Skenario pertama adalah Rencana Umum Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) yang merupakan bagian dari rencana bisnis Perusahan Listrik
Negara (PLN). Sedangkan skenario kedua adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan
Nasional (RUKN) yang disusun oleh Pemerintah.
Skenario RUKN jelas tampak lebih ambisius dalam hal
kapasitas EBT terpasang, yaitu mencapai 43 GW pada tahun 2030, sedangkan pada
skenario PLN hanya 28,5GW.
Di bawah skenario RUKN, sepatutnya teknologi EBT terpilih
seperti hidro, panas bumi, dan tenaga surya, dapat menciptakan sekitar 3,7 juta
pekerjaan secara langsung. Setiap pekerjaan langsung yang diciptakan di sektor EBT
akan menghasilkan satu pekerjaan tambahan dalam perekonomian secara keseluruhan
sebagai efek multipliernya.
Untuk mencapai skenario RUKN, target EBT pada tahun 2030
akan membutuhkan investasi sekitar 49 miliar USD, yang diharapkan dapat
menghasilkan nilai tambah sekitar 24 miliar USD bagi perekonomian Indonesia.
Menurut penilaian keterampilan untuk panel surya di
Indonesia, lebih dari 120 ribu pekerjaan akan dibutuhkan dalam pengembangan
proyek pada tahun 2030. Dimana sebanyak 64% pekerjaan akan terbuka untuk para
profesional manajemen. Sementara teknisi, insinyur, dan non-profesional proyek
akan mendominasi pada tahap setelahnya, yaitu ketika proyek sudah jalan dan telah
dibutuhkan kegiatan operasi dan maintenance.
Target tersebut tentu saja sangat kontras dengan keadaan
pada 16 tahun silam dimana dalam rilis BKPM; realisasi penyerapan tenaga kerja
per investor dalam negeri pada tahun 2005 di sektor Listrik, Gas dan Air hanya
sebesar 16 saja. Dengan kata lain, kontribusi sektor Listrik, Gas, dan Air pada
penyerapan tenaga kerja hanya sebesar 0,1%.
Namun apa pun skenarionya, semua itu hanyalah impian untuk
menyukseskan program dekarbonisasi global.
Maka apa yang ditulis oleh Yuriy Humber untuk NikkeiAsia adalah sebuah keniscayaan yang harus diperhatikan. Pertama,
industri energi terbarukan perlu merangsang lapangan kerja baru dan peluang
berbagi penghasilan (pendapatan) dengan melibatkan masyarakat lokal. Kedua, kunci
sukses dekarbonisasi adalah dengan menghadirkan manfaat nyata bagi ekonomi pedesaan,
bukan melalui visi menyelamatkan planet bumi yang selalu didengungkan selama
ini.
Komentar
Posting Komentar