Sumber Energi Primer Jadi Sumber Devisa, Awal Mula Masalah Serius Energi Nasional

 

Gambar: Bisnis.com

Jalan panjang untuk meraih cita-cita sebagai negara yang memiliki ketahanan energi nasional sepertinya masih belum lagi terlihat garis finishnya. Bahkan, ketahanan energi Indonesia semakin hari terbilang semakin rapuh.

Hal ini tercermin dari komentar Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, seperti yang dilansir oleh Medcom.id. Dimana Surya Darma menyoroti fakta bahwa saat ini sebagian besar kebutuhan BBM dan LPG yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri ternyata dipasok dari impor.

Sebuah ironi apabila kita melihat kilas balik sejarah ekspor energi Indonesia pada masa lalu. Dalam catatan Bisnis.com, Pertamina pertama kali melakukan ekspor sumber energi primer jenis LPG ke Jepang pada tangga 1 Agustus 1988.

Direktur Utama Pertamina ketika itu, Abdul Rachman Ramly, bermaksud untuk melarungkan tanker LPG perdana ke Jepang dari Pelabuhan Khusus Arun, Lhoksumawe. Untuk itu maka Pertamina rela bersusah payah menyediakan kapal tanker khusus yang dinamai, Pine Quin, agar prosesi ritual bersejarah tersebut dapat sukses terlaksana.

Selama sepuluh tahun kemudian Jepang menerima pasokan LPG sebanyak 1,95 juta ton dari Indonesia dimana 1,6 juta tonnya diambil dari lapangan gas Arun, sedangkan sisanya dipasok dari Bontang.

Sebagai pemasok 25% kebutuhan LPG Jepang maka otomatis Indonesia menjadi negara eksportir LPG terbesar di kawasan Pasifik Barat pada 1988. Selain Jepang, negara tetangga Singapura pun menggantungkan kebutuhan LPG mereka pada pasokan dari Indonesia.

Era kebanggaan Indonesia sebagai anggota Organization Petroleum Exporting Countries atau OPEC pada periode 1962 sampai 2008 adalah masa-masa dimana hasil produksi migas yang sejatinya merupakan sumber energi primer nasional malah dijadikan komoditi ekspor sebagai peraup devisa.

Saking nikmatnya, kita malah lupa membangun akses dan infrastruktur energi serupa untuk dalam negeri. Ketika penduduk Jepang dan Singapura sudah dapat menikmati akses ke sumber energi primer yang bersih, murah, dan aman, masyarakat Indonesia ketika itu masih terbiasa memasak dengan menggunakan kompor minyak tanah dan tungku kayu bakar.

Keterbatasan dan kekurangan infrastruktur energi tersebut membuat nilai tambah dari produksi migas nasional kita rendah, tidak memiliki daya ungkit yang sepadan dengan nilai jualnya. Akibatnya, sumber devisa yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan pun jadi terbatas sehingga daerah-daerah penghasil migas di luar Jawa malah kemudian ikut menjadi daerah yang terlambat pembangunannya jika dibandingkan dengan pesatnya pembangunan di Pulau Jawa.

Ketimpangan pembangunan itu pun kemudian menimbulkan masalah baru karena ketidakmerataan pembangunan membuat Indonesia tidak mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensi angkatan kerja yang tersebar di luar Pulau Jawa.

Dengan infrastruktur energi yang lebih mapan maka manufaktur di Pulau Jawa menjadi lebih efisien. Upah buruh yang ditawarkan pun jadi lebih menggiurkan. Akibatnya arus urbanisasi ke Pulau Jawa pun kemudian menjadi keniscayaan yang tak mampu dibendung oleh Pemerintah.

Berbagai cara dilakukan, diantaranya dengan menggalakkan kembali program transmigrasi dengan merelokasi penduduk dari pedalaman Jawa ke berbagai wilayah di Indonesia. Sayangnya, hal itu bukanlah solusi jitu untuk mengatasi problematika disparitas infrastruktur energi nasional.

Sepatutnya kini ketika cadangan migas nasional semakin menipis maka energi baru terbarukan (EBT) sudah semestinya lebih berkembang. Lagi-lagi situasi kontradiksi terjadi, perkembangan EBT di Tanah Air pun ternyata juga sangat menyedihkan.

Masih menurut keterangan Surya Darma, persentase EBT dalam bauran energi nasional justru turun drastis dari 20 persen pada 1999 menjadi 12 persen pada tahun 2019 lalu.

Kendati cadangan batu bara mampu memenuhi kebutuhan nasional, investasi PLTU dipastikan susah laku di masa depan karena investor pasti lebih memilih EBT. Artinya, transisi energi di Indonesia harus segera direalisasikan dengan memaksimalkan kebijakan harga, penyederhanaan proses perizinan, dan menihilkan permasalahan penggunaan lahan dan tata ruang dalam pembangunan infrastruktur EBT.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia