Persoalan Energi Dunia Yang Pertama: Emisi Karbon Rendah = Kemiskinan
Tajuk bahasan yang mendominasi diskusi publik tentang energi
dunia adalah perubahan iklim. Memang harus diakui bahwa krisis iklim membahayakan
lingkungan dan alam di sekitar kita, mengancam kesejahteraan kita, dan
kesejahteraan anak-cucu kita di masa yang akan datang.
Karena produksi energilah yang bertanggung jawab atas 87%
emisi gas rumah kaca dunia. Maka dengan serta merta orang-orang yang hidup di
negara-negara kaya dan maju adalah penghasil emisi CO2 tertinggi dunia.
Di negara-negara dimana penduduknya memiliki pendapatan
rata-rata antara $ 15.000 dan $ 20.000, emisi CO2 per kapita-nya mendekati
rata-rata global (yaitu sekitar 4,8 ton CO2 per tahun).
Sedangkan disisi lain dunia yang lebih kaya dan maju dimana
penduduknya berpendapatan rata-rata di atas $ 25.000 per jiwa, maka rata-rata emisi
per kapita mereka pun ternyata lebih tinggi daripada rata-rata global.
Menurunkan laju penambahan emisi CO2 terlihat gampang untuk
dikampanyekan. Akan tetapi, menghadirkan energi alternatif berskala besar yang
aman, rendah karbon, dan murah sebagai substitusi bahan bakar fosil bukanlah
pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.
Pada kenyataannya, setiap orang yang dalam aktifitas
kesehariannya memiliki jejak karbon yang rendah adalah orang yang terhalang aksesnya
kepada infrastruktur energi modern.
Orang-orang yang hidup di negara yang sangat miskin tanpa
akses terhadap energi modern memang memiliki emisi yang juga sangat rendah. Secara
rata-rata, satu orang yang hidup di Amerika Serikat selama 4 hari dapat menghasilkan
lebih banyak emisi karbon dioksida daripada yang dihasilkan oleh satu orang penduduk
Ethiopia, atau Uganda, atau Malawi selama satu tahun penuh.
Hal tersebut tentu saja karena mereka yang hidup di Ethiopia,
Uganda, atau Malawi, dalam kesehariannya tidak memiliki akses ke energi dan
teknologi modern secara memadai. Istilah energy poverty atau kemiskinan energi merupakan
problematika yang sedang digeluti oleh separuh penduduk dunia.
Statistik menunjukkan bahwa di negara-negara dengan PDB per
kapita kurang dari $ 25.000 maka akses terhadap energi listrik dan bahan bakar
untuk memasak yang bersih adalah suatu yang juga sangat terbatas.
Ketika seseorang tidak memiliki akses kepada sumber energi
modern untuk memasak dan mengolah bahan panganan, mereka akan bergantung pada
sumber bahan bakar padat. Kebanyakannya adalah kayu bakar, tetapi terkadang
terpaksa juga memanfaatkan kotoran hewan dan limbah organik lainnya.
Hal ini diketahui dapat menimbulkan polusi udara dalam
ruangan yang merusak kesehatan tubuh khususnya bagi ibu hamil dan balita. Wajarlah
apabila kemudian WHO menyebutnya
sebagai “the world’s largest single environmental health risk.”
Bagi penduduk di negara miskin, penyakit infeksi saluran
pernapasan adalah faktor risiko terbesar yang menyebabkan kematian dini dan
penelitian kesehatan global menunjukkan bahwa polusi udara dalam ruangan
bertanggung jawab atas 1,6 juta kematian dalam setiap tahun, dua kali lipat dari
jumlah kematian akibat buruknya fasilitas sanitasi lingkungan.
Penggunaan kayu sebagai sumber energi juga berdampak negatif
bagi lingkungan karena ketergantungan pada kayu bakar akan menyebabkan
degradasi hutan.
FAO melaporkan bahwa deforestasi di benua Afrika merupakan dampak dari ketergantungan
pada kayu sebagai bahan bakar sehari-hari.
Kemudian statistik juga menunjukkan bahwa kunci pengentasan
kemiskinan adalah dengan meningkatkan akses terhadap energi listrik. Tidak ada
listrik berarti tidak ada pendinginan makanan; tidak ada mesin cuci atau mesin
pencuci piring; dan tidak ada cahaya di malam hari. Akibatnya, produktivitas penduduk
pun menjadi sangat rendah karena sebagian besar waktunya telah tersedot hanya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.
Masalah energi dunia yang pertama masalah kemiskinan energi. Dimana mereka yang
tidak memiliki akses secara memadai akan sumber energi modern dipastikan akan
terpaksa untuk terus terpuruk dalam kondisi kehidupan yang buruk.
Komentar
Posting Komentar