Akankah PLTU Batubara di Suralaya Menjadi PLTS Orde Gigawatt?
![]() |
Gambar: wikimedia.org |
Biaya untuk membangun baru pembangkit listrik bertenaga surya semakin
murah, bahkan lebih murah bila dibandingkan dengan membangun baru PLTU
batubara.
Hal tersebut dinyatakan oleh Badan Energi Internasional (IEA),
sehingga diprediksikan pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) bakal menjadi primadona di masa depan.
Maka wajarlah apabila Kementerian ESDM mulai mempertimbangkan untuk
mengganti PLTU Suralaya, di Cilegon, Provinsi Banten, dengan instalasi PLTS
Terpusat yang mampu mengimbangi produksi listrik pembangkit tersebut saat ini.
Tentunya butuh ribuan panel yang harus digelar ibarat tikar di atas
ladang surya masa depan di Suralaya, supaya mampu menghasilkan listrik dengan
kapasitas 3400 MW selama 24 jam setiap harinya.
Diantara pertimbangan Pemerintah untuk menutup PLTU Suralaya adalah
karena pembangkit itu sudah sangat tua sehingga efisiensi semakin turun.
Seperti yang diwartakan oleh The Jakarta Post pada 30
November silam, Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (KESDM) yang baru diangkat, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa pihaknya
sedang melakukan studi internal untuk mengkaji proses penggantian PLTU Suralaya
dengan PLTS Terpusat yang dilengkapi dengan baterai.
PLTS Terpusat dengan fasilitas penyimpan daya memang akan lebih mahal
dibandingkan dengan PLTS Atap yang langsung terintegrasi dengan jaringan,
tetapi keberadaan baterai memungkinkan ketersediaan listrik dari energi surya tak terputus selama 24
jam setiap harinya.
PLTU Suralaya sendiri sudah berumur 35 tahun. Adalah wajar apabila
kemudian pembangkit ini harus dibongkar dan diganti dengan pembangkit listrik
baru, dan PLTS Terpusat menjadi kandidat kuat sebagai penggantinya.
Namun, seperti dilansir oleh Dunia Energi, ternyata rencana
untuk mengganti PLTU Suralaya dengan PLTS ternyata belum masuk dalam pembahasan
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Karena diantara syarat yang
belum dapat dipastikan akan mampu dipenuhi oleh PLTS adalah syarat keandalan.
Indonesia memang sedikit terlambat dalam mengejar target pengurangan
emisi karbon. Dari 23% EBT yang ditargetkan pada 2025, baru hanya sembilan
persenan saja yang tercapai hingga akhir tahun yang baru lampau.
Sehingga muncullah ide untuk menutup dan menghancurka PLTU batubara
eksisting agar kemudian lahannya dapat digunakan untuk pembangunan pembangkit
berbasis EBT.
Sudah semestinya memang apabila kemudian muncul pihak-pihak yang
kontra terhadap rencana ini sehingga proses transisi energi nasional tetap tidak
akan berjalan mulus begitu saja.
Terlebih lagi jika dihadapkan dengan fakta bahwa PLTU Suralaya hingga
saat ini punya peran krusial dalam penyediaan energi di Kawasan Industri yang
berada di Jawa Bagian Barat.
Disisi lain media Antero Sumsel juga mewartakan
bahwa Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform
(IESR), biaya yang akan dihabiskan apabila PLTU Suralaya diretrofit cukuplah
besar.
Kalaupun digantikan dengan PLTU baru jenis Ultra Super Critical (USC)
agar memenuhi ketentuan baku emisi pembangkit listrik sesuai Permen LHK Nomor
15 Tahun 2019, maka dipastikan akan lebih mahal dari PLTS dengan penyimpan daya.
Masih menurut Fabby Tumiwa, PLTS orde gigawatt di lokasi eks PLTU
tarif listriknya bisa di bawah 6 sen USD/kWh. Kini, membangun pembangkit baru
berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai pengganti PLTU adalah lebih
efisien.
Berbanding terbalik dengan PLTS, saat ini pendanaan dan EPC
internasional untuk membangun PLTU batubara sudah hampir-hampir tidak mungkin
lagi didapatkan.
Namun keputusan akhir tetap ada pada pemerintah. Jika benar serius,
tentunya wacana ini sudah masuk dalam Rancangan Rencana Umum Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Komentar
Posting Komentar