Apa Pun Yang Kita Lakukan, Ternyata Pemanasan Global Hampir Tidak Bisa Lagi Dihentikan

 

Gambar: naturfreund_pics/Pixabay

Andaikan saja seluruh umat manusia mampu berhenti mengeluarkan emisi gas rumah kaca pada hari ini, ternyata fenomena pemanasan global tetap akan terus berlanjut hingga beberapa abad yang akan datang yang menyebabkan permukaan laut akan naik beberapa meter.

Hal tersebut diungkapkan oleh para peneliti yang terlibat dalam sebuah studi pemodelan iklim yang mencoba mengembangkan model kontroversial seperti yang diberitakan oleh The Jakarta Post pada Jum’at yang baru lampau. Senada dengan media internasional berbasis nasional tersebut,The Daily Mail nyatanya juga mewartakan topik yang serupa dalam pekan yang sama.

Namun kiranya hal ini bukanlah sesuatu yang baru apabila kita menengok kembali tulisan Jacqueline Sussman yang dipublikasikan oleh Biodiversity for a Livable Climate (B4LC), yang mana B4LC ini merupakan sebuah organisasi yang memiliki slogan: “memulihkan ekosistem untuk membalikkan proses pemanasan global”.

Panel surya di atas atap rumah. Kendaraan listrik dan motor hibriba yang terparkir dalam garasi. Bahkan bagi masyarakat Eropa kini hidup tanpa makan daging sudah menjadi indikator kunci untuk menilai bentuk kepedulian seseorang terhadap lingkungan.

Beberapa hal tersebut hanyalah contoh kecil dari perubahan gaya hidup generasi milenial yang sangat bersemangat dalam mengurangi konsumsi energi dunia yang sudah terlanjur kecanduan bahan bakar fosil.

Meskipun mengganti SUV berbahan bakar bensin dengan mobil hibrida adalah sangat penting dalam mengubah kebiasaan gaya hidup perseorangan yang berdampak pada pengurangan jejak karbon individu, hal semacan itu tidaklah cukup untuk membalikkan proses perubahan iklim yang sedang dan terus berlangsung.

Peningkatan kadar CO2 dalam atmosfer tercatat begitu pesat hingga disebut-sebut oleh para ilmuan telah mencapai level ekstrim yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia modern sejak satu abad silam.

Akibat dari besarnya skala fenomena perubahan iklim saat ini maka kecepatan peningkatan suhu permukaan bumi pun kemudian menjadi benar-benar luar biasa. Proses adaptasi manusia dan alam kini memasuki fase yang kompleks, penuh tantangan dan unik.

Dalam menjawab tantangan ini, kebanyakan politisi, para aktivis iklim, dan pembuat kebijakan sering mempromosikan gerakan pengurangan konsumsi bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai jalan keluar satu-satunya.

Namun, ilmu pengetahuan adalah tempat dimana bermacam-macam pandangan dikemukakan dimana masing-masing pihak akan menceritakan kisah yang berbeda, dan inilah saatnya bagi kita untuk mendengarkan model kontroversial dalam studi perubahan iklim.

Model iklim kontroversial menunjukkan bahwa bahkan dengan skenario nol emisi (a zero emissions), suhu atmosfer masih akan terus meningkat, dan paling banter pun, cuma bisa stabil atau turun perlahan selama beberapa dekade bahkan hingga berabad-abad lamanya sebelum mencapai level yang aman.

Artinya dalam skenario kasus pengurangan emisi GRK terbaik - a zero sum emissions scenario – penurunan suhu global tidak akan mampu membalikkan tren dari dampak perubahan iklim yang tengah berlangsung saat ini.

Untuk mencapai laju penurunan suhu global yang optima maka upaya pembersihan atmosfer dari karbondioksida harus melalui beberapa strategi khusus yang mampu memanfaatkan potensi penangkapan dan penyimpanan CO2 dalam biosfer.

Sebagian kecil ilmuwan dan aktivis iklim sudah sejak dahulu kala telah menggaungkan diskusi ini, akan tetapi terus diabaikan dalam setiap dialog konvensional tentang krisis perubahan iklim. Hanya jadi bahasan para ilmuan yang terpinggirkan akibat konsistensi mereka mengembangkan pemodelan iklim yang disebut-sebut sebagai model kontroversial.

Apabila model kontroversial ini benar terbukti maka kita harus segera beradaptasi dengan kondisi kesetimbangan ekonomi baru yang berlaku secara internasional. Karena dampak dari pemanasan global terhadap ekonomi pada kenyataannya nanti akan lebih parah dibandingkan dengan kehancuran ekonomi di masa pandemi.

Secara alamiah, setiap bioma yang temukan di seluruh permukaan bumi memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dioksida. Bioma secara iklim dan geografis berarti wilayah yang memiliki sifat geografis dan/atau iklim yang sama, seperti komunitas tumbuhan, hewan, organisme tanah, bakteri, dan virus; sering juga disebut ekosistem.

Akan tetapi jenis bioma seperti padang rumput, taiga, hutan gugur, gurun, dan tundra cenderung memiliki kemampuan menyerap karbon yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bioma hutan hujan tropis.

Namun demikian setiap potensi penyimpanan karbon yang dimiliki oleh setiap jenis bioma akan sangat besar peranannya dalam menjaga stabilitas iklim global dalam jangka panjang. Ketika sistem alami telah bekerja untuk menyerap karbon dari atmosfer dan menyimpannya di pepohonan, tanaman, dan di dalam tanah; maka secara efektif mampu membalikkan keadaan sehingga laju peningkatan suhu global menjadi stagnan dan menjadi dasar bagi pembangunan ekonomi global yang berkelanjutan.

Secara umum, hutan dunia mampu menyimpan cadangan karbon tanah sekitar 35% dari total cadangan karbon tanah global.

Keunggulan hutan tropis ada pada kemampuannya untuk mendorong terjadinya penguapan air dari darat ke udara, dimana hal tersebut berkontribusi pada pembentukan awan yang meningkatkan jumlah sinar matahari yang terpantulkan kembali ke angkasa.

Sedangkan hutan boreal, yaitu tempat berupa hutan yang ditumbuhi pohon-pohon konifer seperti pohon pinus, memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang lebih sedikit karena terbatasnya sinar matahari, suhu yang lebih dingin, kehadiran salju dan es dalam jangka panjang setiap tahun, dan faktor-faktor lainnya.

Maka dari pada itu salju dan es yang menutupi wilayah kutub utara telah memainkan peranan penting dalam menjaga iklim global melalui sifatnya yang sangat reflektif terhadap sinar matahari. Oleh karena itu pun maka fenomena penghijauan alami yang sedang terjadi di negara-negara kutub utara sebenarnya dapat malah semakin menambah kekhawatiran kita sebab fenomena ini dapat mempercepat pemanasan global.

Sehingga peneliti iklim berpendapat bahwa potensi terbesar untuk penyerapan karbon alami ada pada hutan hujan yang terletak di daerah tropis seperti Indonesia. Pencegahan deforestasi, restorasi hutan dan aforestasi di wilayah ini dapat memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global.

Jorgen Randers, seorang profesor emeritus strategi iklim di BI Norwegian Business School, mengatakan bahwa pencairan permafrost akibat dari meningkatnya suhu global tidak mungkin dapat dihentikan hanya dengan mengandalkan program penguranan emisi karbon. Hal tersebut terungkap melalui penelitiannya bersama rekannya, Ulrich Goluke, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Scientific Reports.

Untuk menghentikan proses pencairan permafrost dan peleburan es di kutub utara haruslah disertai dengan upaya untuk  menyedot CO2 dari atmosfer dan menyimpannya di bawah tanah, serta membuat permukaan bumi lebih cerah.

Salah satu caranya adalah dengan menanam milyaran pohon di sepanjang garis ekuator.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia