Akibat Proses Transisi Energi, Industri Batubara Indonesia Semestinya Tak Lagi Layak Untuk ‘Mati-matian’ Dipertahankan

 

Gambar: Pixabay

"...dua hal besar dari batubara yang akan membebani pemerintah di masa depan, yaitu: technology lock-in dan stranded asset"

Kebijakan transisi batubara nasional harus segera terbentuk agar dampak ‘kejutan’ bagi ekonomi dan sosial di masa mendatang dapat ditekan seminimal mungkin.

Ketika membicarakan energi untuk pembangkit listrik di kawasan Asia Tenggara maka topik ini sering diasosiasikan dengan batu bara meskipun potensi energi terbarukan di kawasan ini sangatlah besar.

Indonesia memiliki 3,7% dari total cadangan terbukti batubara dunia, terdiri dari ±24,7 miliar ton batubara dengan kalori menengah dan ±15,2 miliar ton dari jenis kalori rendah.

Selama sepuluh tahun terakhir, lebih dari 80% produksi batubara nasional ternyata diekspor ke China, India, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Apalagi kalau bukan untuk memasok kebutuhan PLTU di negara-negara tersebut.

Namun demikian ternyata pasar ekspor komoditi ini kini punya kerentanan yang tinggi, setidaknya demikianlah yang disoroti oleh Moch. Dani Pratama Huzaini dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh Hukum Online. Transisi energi global pasti akan menggerus dominasi batubara dalam bauran energi Asia sehingga tak lagi layak untuk terus dipertahankan.

Untuk menjawab tekanan publik yang terus mempersoalkan masalah polusi udara dan perubahan iklim, beberapa negara di Asia Tenggara memang sudah mencoba memperkenalkan teknologi batubara “bersih”.

Tapi dalam catatan Pamela Simamora untuk South China Morning Post, menyebut teknologi “ultra-supercritical” pada PLTU batubara sebagai teknologi batubara “bersih” adalah sebuah istilah yang menyesatkan. Benar jika teknologi tersebut mampu menurunkan emisi CO2 secara dramatis apabila dibandingkan dengan PLTU konvensional namun volume emisinya tetap saja jauh lebih besar jika dibandingkan dengan emisi dari PLTG.

Hal tersebut tentunya telah memupuskan harapan para pihak yang ingin memasukkan batubara “bersih” sebagai bagian dari energi baru terbarukan karena kenyataannya belum ada teknologi khusus yang mampu memangkas emisi karbon batu bara hingga setara dengan PLTG.

Selain emisi, banyak studi yang menunjukkan bahwa setelah tahun 2020 ini nantinya biaya untuk membangun PLTS baru akan jadi lebih murah daripada membangun baru PLTU batu bara. Hal ini juga berlaku bagi seluruh negara ASEAN. Bahkan biaya operasional tahunan sebuah PLTU batubara pada tahun 2027 akan jadi lebih besar jika dibandingkan dengan membangun baru PLTS atau PLTB dengan kapasitas yang setara.

Lalu perkembangan teknologi baterai yang semakin hari mampu menghadirkan produk yang semakin murah. Terbaru yang tercatat adalah pada lelang PLTS di Portugal dimana baterai di banderol hanya senilai 0,0131 dolar AS per kilowatt-jam. Artinya, keekonomian teknologi alternatif dari energi terbarukan kini sudah semakin kompetitif pada semua aspek, yaitu: keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan.

Secara statistik diramalkan bahwa permintaan batubara Indonesia akan terus menurun di tahun-tahun setelah 2020 ini. Tanpa strategi yang tepat maka transisi energi batubara nasional tidak mungkin terwujud. Jika nasib industri batubara hanya diharapkan pada geliat PLTU domestik tentu saja pasar komoditi yang satu ini menjadi semakin rawan dan berpotensi merugikan keuangan negara di masa depan.

Kebijakan pemerintah yang mendukung peningkatan produksi batubara domestic dengan pertimbangan hilirisasi dan memanfaatkan PLTU yang dilengkapi dengan “clean coal technology” dapat dinilai sebagai sebuah kebijakan kalang kabut. Karena kebijakan ini justru berpotensi menciptakan berbagai problematika baru, setidaknya akan ada dua hal besar yang akan membebani pemerintah di masa depan, yaitu: terjerembab dalam teknologi yang sudah kedaluwarsa (technology lock-in) dan memiliki banyak aset terdampar (stranded asset).

Industri batubara nasional harus segera dibimbing untuk dapat mengalihkan segala sumber daya yang dimilikinya ke sektor bisnis lain di luar batubara. Kegagalan industri ini dalam mengembangkan portofolio baru di luar batubara akan berdampak besar bagi perekonomian nasional karena ekonomi di sekitar wilayah tambang akan mati seketika, menghentikan geliat konsumsi di daerah dan menciptakan ledakan angka pengangguran di kalangan tenaga ahli dan terampil.

Kita bisa berkaca dari kebijakan Vietnam yang secara agresif ternyata mampu mengembangkan kapasitas tenaga surya mereka dari hanya 106 megawatt pada 2018 menjadi 5,5 gigawatt pada 2019. Lalu Malaysia yang telah mengembangkan industri pembuatan modul surya nasional mereka yang mampu menyerap pekerja hingga 54.300 orang pada tahun 2018. Sementara Filipina mencoba menyusul negara-negara ASEAN lainnya dengan proyek PLTS 922 MW dan PLTB 427 MW pada tahun 2019 silam.

Artikel Terkait: Energi Bersih Dapat Membantu Pemulihan Ekonomi Asia Tenggara Pasca Pandemi COVID-19

Sudah sepatutnya jika kebijakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) segera diinisiasikan dengan mempertimbangkan secara seksama faktor efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan serta teknologi pengganti dari energi terbarukan. Karena industri batubara Indonesia semestinya tak lagi layak untuk ‘mati-matian’ terus dipertahankan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia