Terobosan Green Energy dari Pertamina untuk Ketahanan Energi Nasional dan Mengurangi Impor BBM

 


Sejak di restrukturisasi, Pertamina mulai fokus pada bisnis intinya yaitu bisnis energi. Tampak bahwa peluang kemitraan strategis Pertamina kini sudah semakin besar, menyongsong fenomena megatren dalam industri energi global, yaitu: transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Untuk dimaklumi bahwa tulisan berikut ini pada dasarnya adalah resensi dari artikel yang pernah terbit pada laman Jakarta Post.

Perusahaan energi plat merah Indonesia, Pertamina, menyikapi era transisi energi ini dengan melakukan transformasi bisnis. Didorong oleh fenomena pemanasan global akibat efek rumah kaca dan peningkatan kadar CO2 di udara, transisi ke “green energy” saat ini terjadi dalam skala global. Selain itu transisi energi juga diakibatkan oleh faktor alamiah yaitu menipisnya cadangan migas di negara-negara tertentu seperti halnya Indonesia.

Sebagai perusahaan migas nasional (NOC), Pertamina berupaya keras untuk mewujudkan ketahanan energi. Di antara upaya yang ditempuh adalah dengan mengembangkan kilang bioenergi yang juga dikenal dengan biorefinery berbasis kelapa sawit.

Pada Juli tahun lalu, Pertamina telah melakukan terobosan besar dalam uji coba produksi D100 (green diesel) yang memanfaatkan 100 persen minyak sawit sebanyak 1.000 barel per hari di Kilang Dumai, Riau.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan D100 yang ramah lingkungan telah menjadi komitmen Pertamina dalam mewujudkan tujuan Nawacita pemerintah, yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dalam negeri untuk ketahanan energi nasional, yang memiliki kemandirian dan kedaulatan.

Ulasan Terkait: Pertamina Bisa Terus Merugi Kalau Tidak Segera Fokus Kelola Bisnis Inti

Selain di Kilang Dumai, uji coba biorefinery juga akan dilakukan di Cilacap, Jawa Tengah. Tahun depan Kilang Cilacap diharapkan dapat memproduksi bahan bakar nabati (BBN) jenis B100 sebanyak 3.000 barel per hari, dan pada tahun 2022 ditargetkan meningkat menjadi 6.000 barel per hari. Kemudian pada tahun 2023, biorefinery berkapasitas 20.000 barel per hari juga akan dibangun di Kilang Plaju, Sumatera Selatan.

Pertamina merupakan NOC pertama di dunia yang mengembangkan teknologi green gasoline (E100) hingga sampai ke tingkat tahapan operasional. Karena sebelumnya green gasoline hanyalah wacana yang berkembang di laboratorium untuk penelitian ilmiah semata. Teknologi E100 hasil pengembangan Pertamina telah dipresentasikan pada Global Biofuel Summit di Singapura pada tahun lalu dan mendapatkan respon yang cukup baik.

Komitmen Pertamina adalah terus melakukan pengujian untuk mengoptimalkan teknologi E100 atau yang bisa disebut juga sebagai bensin hijau. Setiap temuan terbarunya pasti akan terus dipublikasikan pada forum-forum dan jurnal-jurnal energi internasional.

Dalam pidato kenegaraannya pada 15 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo memuji upaya besar Pertamina untuk mewujudkan kemandirian energi. Presiden Jokowi turut memuji Pertamina yang sudah bekerja sama dengan para peneliti ITB guna menghasilkan katalis merah putih, yaitu komponen utama pada produksi D100, yang bakal menyerap sekurang-kurangnya 1 juta ton sawit petani setiap harinya.

“Hilirisasi bahan mentah yang lain juga terus dilakukan secara besar-besaran. Batu bara diolah menjadi metanol dan gas serta beberapa kilang dibangun guna mengolah minyak mentah menjadi minyak jadi, dan sekaligus menjadi penggerak industri petrokimia yang memasok produk industri hilir bernilai tambah tinggi,” lanjutnya lebih jauh sebagaimana dikutip dari TikTak.

Pertamina telah berhasil menerapkan standar program wajib biodiesel B30. Untuk diketahui bahwa B30 merupakan biodiesel dengan kandungan 30% fatty acid methyl ester (FAME) dan 70% solar. Penerapan B30 telah menghasilkan multiplier effect positif, seperti: 1) mengurangi impor BBM yang hasil akhirnya adalah menghemat cadangan devisa negara, 2) mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), 3) membuka lapangan kerja, dan 4) mengurangi ketergantungan pada impor solar.

Tren Perkembangan Sektor Energi Secara Global

Pada pertengahan abad ke-19, perekonomian Dunia Barat dicirikan oleh pertumbuhan industrialisasi. Ketika itu biomassa merupakan sumber energi yang paling dominan. Dalam beberapa dekade berikutnya, terjadi terobosan teknologi di sektor transportasi yang mengubah budaya pelayaran baik secara global maupun lokal. Hal inilah yang kemudian mendorong permintaan energi batubara di seluruh dunia.

Ulasan Terkait: Energi Kapal Hitam Komodor Perry di antara Stagnasi dan Restorasi serta Teknologi BBNTemuan Anak Negeri

Kemudian, pada paruh kedua abad ke-20, minyak bumi mulai diproduksi secara besar-besaran. Dunia Barat menikmati ledakan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Standar kehidupan yang layak pun kemudian ikut meningkat ke taraf yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Pasca perang dunia kedua, fenomena industrialisasi ternyata pindah ke Asia dimana pertumbuhan ekonomi China pun melonjak tajam seiring dengan peningkatan permintaan energi fosil di negara tirai bambu tersebut.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, energi terbarukan cenderung tumbuh pesat dalam bauran energi global khususnya di sektor pembangkit listrik. Para pakar pun memperkirakan bahwa pertumbuhan ini akan terus terjadi dalam beberapa dekade mendatang. Disamping itu, inovasi digital telah mentransformasi seluruh sistem rantai pasok energi yang ternyata dapat mengoptimalkan pemanfaatan jaringan listrik terintegrasi dan ikut mendorong penggunaan energi terbarukan secara lebih luas.

Terdepak oleh penetrasi sumber energi baru dan terbarukan ke dalam bauran energi global, pertumbuhan penggunaan bahan bakar fosil dunia diperkirakan akan mencapai titik puncaknya pada tahun 2035. Artinya, setelah itu energi fosil akan terus turun secara peralahan menuju angka nol koma dalam bauran energi global.

Pengaruh Tren Global pada Sektor Energi Nasional

Energi terbarukan diproyeksikan dapat mencakupi hingga 14 persen pembangkit listrik dunia pada tahun 2030. Megatren sektor energi di tingkat global tentu juga akan berdampak besar pada energi nasional. Ke depan mungkin BBM bukan tidak lagi menjadi komoditi yang patut dianggap sebagai hajat hidup orang banyak mengingat pertumbuhan kendaraan listrik yang semakin pesat. Secara global, penjualan tahunan kendaraan listrik dapat melebihi 100 juta unit pada tahun 2035.

Di Indonesia, permintaan minyak diperkirakan masih akan tumbuh tetapi terjadi perlambatan, sedangkan puncak permintaan minyak untuk sektor transportasi darat diperkirakan terjadi pada tahun 2033. Setelah itu, motor listrik akan menjadi pilihan transportasi populer yang akan menggantikan motor bebek konvensional dalam beberapa dekade mendatang. Konsekuensinya maka pertumbunan permintaan minyak bumi nantinya akan sangat bergantung pada pertumbuhan industri petrokimia nasional yang diperkirakan akan meningkat sebanyak lima kali lipat pada tahun 2035.

Industri gas diperkirakan juga akan terus tumbuh hingga tahun 2035 dimana LNG menjadi komoditi utama yang dibutuhkan oleh pasar domestik. Apabila tidak mampu cadangan gas domestik secara keekonomian tidak lagi layak untuk dikembangkan maka Indonesia akan segera beralih menjadi pengimpor netto LNG pada tahun 2028.

Secara global, konsumsi listrik akan naik dua kali lipat pada tahun 2050 dimana energi terbarukan menguasai lebih dari 50 persen pembangkit listrik dunia pada tahun 2035. Namun demikian, permintaan listrik Indonesia tetap masih akan terus disuplai oleh pembangkit listrik bertenaga batubara yang sedang beroperasi saat ini disamping juga dari pembangkit listrik dari energi gas yang pertumbuhannya akan meningkat pesat.

Pertamina telah meningkatkan penggunaan gas untuk menggantikan minyak bumi sebagai solusi transisi energi. Langkah tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk gasifikasi pembangkit listrik.

Khusus untuk listrik dari energi terbarukan, Pertamina berencana memanfaatkan potensi panas bumi dalam negeri yang menempati posisi terbesar ketiga di dunia. Secara teoritis, Indonesia dapat menghasilkan listrik dari panas bumi sebesar 28 hingga 30 GW. Adapun kapasitas Pembangkit Listri Tenaga Panasbumi (PLTP) yang sudah dimiliki oleh Pertamina saat ini baru sebesar 1.877 MW, sehingga masih sangat banyak sumber panas bumi lainya yang masih menunggu untuk dikembangkan.

 

Bagaimana Cara Perusahaan Minyak International (IOC) Beradaptasi dengan Perubahan Pasar?

Cara International Oil Company (IOC) dalam menanggapi megatren transisi energi global tampaknya terbagi ke dalam dua aliran pemikiran besar, yaitu Amerika dan Eropa.

Perusahan Amerika memilih untuk fokus pada pengembangan potensi shale oil-nya yang melimpah, disamping juga terus menjalankan proyek pada sumber konvensional lainnya. Metode ini diterapkan oleh Chevron, Exxon Mobil dan Conoco Phillips.

Perusahan Eropa memilih pendekatan yang berbeda yaitu dengan menyederhanakan portofolio migas mereka. Selain mendongkrak efisiensi dari aset migas yang sudah dimiliki melalui proyek laut dalam (deepwater) serta LNG, investasi di sektor energi terbarukan pun dilakukan dengan sangat gencar. Bahkan beberapa perusahaan minyak raksasa asal Eropa mencoba supaya investasi barunya fokus hanya pada energi terbarukan. Di antara perusahaan Eropa yang secara terang-terangan mengadopsi pendekatan ini adalah BP, Shell dan Total.

Oleh sebab itu pula mengapa kemudian perusahan migas Eropa dan Amerika secara beramai-ramai melepas aset luar negeri mereka. Seperti halnya Conoco Phillips dan Shell yang telah melepas Blok Gas Greater Sun Rise kepada Timor Leste pada tahun 2018, ternyata pada tahun ini Chevron juga memutuskan untuk mundur dari proyek Indonesian Deepwater Development.

Sementara Pertamina memilih untuk meningkatkan pemanfaatan sumber energi dalam negeri dari hulu hingga ke hilir sebagai upaya untuk menggenjot nilai tambah pasar domestik. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar rupanya hendak dijadikan sebagai keunggulan kompetitif oleh Pertamina.

Biofuel dari minyak sawit sudah dipastikan akan menjadi bagian dari bisnis inti Pertamina di segmen hilir. Pengelolaan infrastruktur hulu energi hingga ke pengilangan, berikut dengan industri petrokimia merupakan bentuk penguasaan negara terhadap sistem rantai pasok energi dalam negeri. Untuk itulah kemudian mengapa wacana restrukturisasi dan pembentukan subholding Pertamina yang sempat mandek selama bertahun-tahun pada akhirnya tereksekusi juga di tahun ini.

Adapun kritik dan gugatan atas pembentukan subholding tersebut masih sangat premature alias belum cukup alasan. Hal tersebut sudah dijelaskan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam acara webinar 'Sub Holding Pertamina Melanggar Hukum?'. Dimana acara tersebut digelar oleh Ruang Energi pada hari Kamis pekan lalu yang mana siaran ulangnya dapat disaksikan pada Channel YouTube Ruang Energi.

Tafsiran Pasal 33 UUD 1945 selalu dinamis dengan mempertimbangkan kondisi yang ada di tiap-tiap zaman. Pada intinya, istilah “dikuasai oleh negara” tidaklah berarti bahwa negara mengelola secara langsung sumber daya alam yang kita miliki. Namun negara mengatur pengelelolaannya sedemikian sehingga sebesar-besarnya manfaat dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Daripada memperdebatkan sesuatu yang masih pada tatanan konseptual, lebih baik kita menunggu sejenak untuk menantikan terobosan “green energy” dari struktur baru Pertamina untuk ketahanan energi nasional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia