Perjuangan Energi Surya di Indonesia Yang Selalu Tersandung Kaki ‘Batu Bara’ Sendiri
![]() |
Gambar: Suhendri via Channel News Asia |
Untuk pertama kalinya, renovasi besar Masjid Istiqlal
baru-baru ini menggunakan konsep ‘green building’ untuk kategori rumah ibadah di
Indonesia. Saat ini telah terpasang panel surya atap (rooftop) sebanyak 504 unit
yang mana mampu menghasilkan listrik setara dengan 150 kWp.
Berita tersebut sempat menarik perhatian beberapa media nasional
pada awal September silam. Diantaranya adalah Tempo,
Kontan,
Detik,
dan CNN Indonesia yang terkesan saling berlomba untuk menampilkan foto terbaik dari
suasana instalasi PLTS Rooftop di Masjid terbesar se-Asia Tenggara tersebut.
Namun bagi media internasional, berita tersebut ternyata lebih
dari sekedar kabar ringan karena secara implisit tergambar bahwa urusan energi
terbarukan dan isu perubahan iklim mulai mendapatkan perhatian serius dari para
pemangku kebijakan di Indonesia.
Kesan tersebut dapat disimpulkan dari tulisan Kiki Siregar yang
ditayangkan oleh Channel News Asia ternyata dipublikasikan ulang oleh Borneo Bulletin,
sebuah koran independen berbahasa Inggris di Brunei, Sabah dan Serawak. Berikut
merupakan ikhtisarnya yang dirangkaikan dengan berbagai keterangan dari sumber
yang berbeda.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada akhir September silam telah
menandatangani dokumen ‘Menuju Udara Bersih Jakarta’ bersama Bloomberg
Philanthropies dan Vital Strategies sebagai mitra pelaksana.
Langkah tersebut memang perlu diambil mengingat masalah polusi
udara di Jakarta sudah begitu kronis, disamping juga menjadi bagian dari aksi pencegahan
perubahan iklim yang saat ini telah menjadi isu global.
Pemasangan fasilitas PLTS Rooftop pada berbagai fasilitas
publik, terutama di gedung-gedung pemerintah, sekolah dan rumah ibadah
merupakan bagian dari komitmen Pemerintah DKI Jakarta dalam program Jakarta
Clean Air Partnership.
"Polusi udara merupakan masalah yang kompleks,
membutuhkan pendekatan multi sektoral. Untuk itu perlu menjalin kerja sama baik
internasional maupun domestik. Karena masalah polusi udara ini semakin
mendesak, terlebih di masa pandemi COVID-19. Kami bangga dapat bermitra dengan
Bloomberg Philanthropies dan Vital Strategies untuk menjadikan udara bersih
sebagai prioritas bagi masyarakat Jakarta," terang Anies sebagaimana yang diwartakan
oleh Sindonews.
Para ahli memperkirakan bahwa polusi udara menyebabkan lebih
dari 5,5 juta kasus penyakit ISPA di Jakarta setiap tahunnya. Angka tersebut
setara dengan 11 kasus per menit. Dalam Ingub Nomor 66 tahun 2019, telah
dicanangkan tujuh solusi yang harus dilakukan Pemerintah Jakarta untuk menciptakan
udara bersih. Diantaranya dalah pemasangan panel surya di gedung-gedung
pemerintah, percepatan pembangunan mass rapid transit serta meningkatkan
penggunaan energi bersih untuk transportasi.
Pada tahun 2017 lalu, Pemerintah pernah menggagas gerakan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap untuk
mendorong dan mempercepat pembangunan pembangkit listrik surya atap di
perumahan, fasilitas umum, gedung perkantoran dan pemerintahan, bangunan
komersial, dan kompleks industri hingga orde GigaWatt sebelum tahun 2020.
Maksud dari Gerakan Nasional tersebut adalah untuk mendukung tercapainya
23% penggunaan energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional sambil memangkas emisi karbon sebanyak
29 persen pada tahun 2030.
Namun terlepas dari berbagai upaya, tiga tahun sejak
dicanangkan ternyata pemanfaatan energi surya di Indonesia tetap rendah, masih
sangat jauh masih dari orde GigaWatt.
Para ahli tampaknya sepakat bahwa kendala keuangan dan
kebijakan yang tidak konsisten adalah alasan utama mengapa energi surya masih
belum tergunakan secara optimal di nusantara.
Sebagai negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, Indonesia
memiliki potensi sumber energi surya yang melimpah hingga mencapai angka 208
GW. Namun sampai dengan tahun 2019, baru sekitar 100 MW (0,09%) saja yang termanfaatkan,
dan sangat jelas jika persoalaannya bukan karena terkendala oleh kelangkaan sumber
daya.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services
Reform (IESR), Fabby Tumiwa, persoalan masa kini
sebenarnya masih terpaut sangat erat dengan sejarah kebijakan energi masa lalu.
Di era 1980-an, Indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir
minyak dan gas bumi. Penggunaan domestik masih sangat minim karena populasi
kendaraan ketika itu juga sedikit.
Oleh karenanya kemudian Pemerintah menggalakkan program
elektrifikasi melalui pembangungan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di seluruh
wilayah Indonesia. Kemudian kisah dimana bauran energi nasional yang sangat
bergantung pada minyak dan gas bumi di Indonesia dimulai sejak era 1980-an.
Seiring dengan berjalannya waktu, teknologi pun semakin berkembang
dan Pemerintah pun mulai beralih ke PLTU batu bara karena disadari bahwa
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang melimpah.
Menyongsong era 1990-an, cadangan migas nasional mulai menurun
sehingga tak mampu lagi mengimbangi pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang
terus meningkat. Dengan demikian, batu bara menjadi sumber energi yang menggantikan
posisi migas dalam bauran energi nasional sejak saat itu.
Secara statistik hingga saat ini Indonesia merupakan pengekspor
batu bara terbesar kedua di dunia setelah Australia. Hal ini membuat teknologi
energi terbarukan seperti energi matahari menjadi sulit berkembang di Indonesia
karena secara keekonomian masih sangat mahal dibandingkan dengan batu bara.
Harga modul surya di Indonesia saat ini berada pada kisaran 3,5
juta rupiah (235 dolar AS) per kilowatt yang tergantung pada lokasi, ukuran dan
kualitas inverter. Kemudian biaya pemasang panel surya berada pada rentang
angka 14 hingga 20 juta rupiah per kW.
Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa
mengatakan kendala finansial menjadi alasan utama mengapa energi surya belum
banyak digunakan di tanah air. Proyek-proyek PLTS yang digagas oleh Pemerintah umumnya
terkendala dengan harga jual energi surya yang tidak mampu bersaing dengan
tarif yang diberlakukan oleh PLN.
Dapat dimaklumi bahwa listrik dari PLTS yang dilengkapi dengan
fasilitas penyimpan daya (baterai) masih dianggap kemahalan dalam bisnis energi
di Indonesia. Kemungkinan karena industri energi berbasis batu bara sudah lebih
dulu ada, sehingga sistem rantai pasok dari hulu ke hilirnya juga sudah sangat mapan.
Batu bara sudah menjadi komoditas penyumbang devisa dan pajak
bagi negara. Keuntungan pemilik tambang dari ekspor batu bara juga menjadi
keuntungan bagi negara karena para penambang tersebut membayar royalti dan
pajak pada Pemerintah. Sedangkan energi terbarukan seperti halnya energi surya
adalah gratis, tidak kena pajak.
Walaupun Pemerintah telah menunjukkan komitmennya pada energi
surya dengen membangun PLTS Terapung 145 MW di Cirata, Jawa Barat, Indonesia masih kalah telak bila
dibandingkan dengan Vietnam yang mampu meningkatkan kapasitas terpasang energi
suryanya hingga 5,5 GW hanya dalam jangka waktu dua tahun saja.
Sebelumnya juga telah diulas bahwa Pemerintah pada penghujung
tahun 2020 ini telah mencoba membuka peluang baru bagi energi terbarukan melalui rancangan Peraturan Presiden yang mengatur
pembelian listrik energi terbarukan oleh PLN.
Rancangan Perpres tersebut merupakan bagian dari kebijakan pendukung pengembangan
energi terbarukan yang digagas oleh Kementerian ESDM. Sebagai
penguatan regulasi EBT supaya tidak berbenturan dengan peraturan sejenis dari
Kementerian atau Lembaga lain.
Berbeda dengan regulasi yang ada selama ini, harga listrik
dalam rancangan Perpres dimaksud akan bersifat luwes terhadap aspek keekonomian
proyek energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan titik lokasi dari pembangkit
listrik itu sendiri, rancangan Perpres ini juga memuat ketentuan soal biaya
penggantian selisih harga listrik sesuai regulasi dan biaya pokok produksi
(BPP) agar listrik dari EBT nantinya benar-benar diserap oleh PLN.
Semoga saja kali ini pengembangan energi terbarukan di
Indonesia benar-benar mendapatkan prioritas dalam kebijakan Pemerintah. Mengingat
bahwa Menteri ESDM pernah mengatakan jika pengembangan energi terbarukan
menjadi salah satu strategi untuk dorong ekonomi pasca pandemi Covid-19, tidak
hanya ekonomi berketahanan dan berkelanjutan tetapi juga mengurangi emisi dan
menciptakan lapangan kerja.
Komentar
Posting Komentar