Mendongkrak EBT, Memulihkan Ekonomi Nasional Pasca Pandemi
Fenomena pemadaman listrik secara bergilir dan polusi udara kronis di
negara yang sumber energi bersihnya melimpah ruah secara ekonomi adalah tidak
masuk akal.
Namun hal tersebut terjadi di Indonesia, negara terbesar di Asia
Tenggara yang memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) sebesar 788.000 MW.
Polusi udara di wilayah bagian barat pulau Jawa memang sudah
melegenda. Terutama bagi penduduk luar Jawa yang baru pertama kali
menyambangi Ibukota Negara melalui jalur udara, mereka pasti akan takjub ketika
melihat awan hitam pekat yang menyelimuti udara jelang pendaratan di Bandara
Soekarno-Hatta.
Sementara puluhan juta jiwa penduduk di Indonesia bagian barat masih harus
mengalami pemadaman listrik bergilir selama beberapa jam hingga seharian. Entah itu karena ada
kegiatan pemeliharaan jaringan ataukah perawatan pembangkit.
Kemudian penduduk di wilayah Timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, kepulauan
Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua hingga kini masih belum memiliki fasilitas pemasok
listrik dari EBT yang dapat diandalkan. Padahal potensi panas bumi, tenaga
surya, dan energi bayu di wilayah ini sangat menggiurkan.
Tapi mengapa listrik Indonesia masih terus bergantung pada energi
fosil?
Sebagai negara kepulauan terbesar yang terletak di sepanjang garis
khatulistiwa dan cincing gunung api, tak salah jika banyak orang yang
mengharapkan agar Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam dunia energi
terbarukan.
Diberkati dengan magma, batuan panas, dan air panas yang terkandung dibawah
permukaan tanah, 29.000 MW atau setara dengan 40% potensi energi panas bumi dunia
dimiliki Indonesia.
Tapi bauran EBT dalam energi Indonesia masih sangat minim. Kondisi
2018, kontribusi EBT hanya 12% dalam bauran energi nasional. Sisa kebutuhan energi ditopang
oleh energi fosil dari batu bara (55%), gas alam (26%), dan minyak bumi (7%).
Berkaca pada profil rasio elektrifikasi nasional maka sekitar 10
hingga 20 juta penduduk Indonesia masih belum menikmati fasilitas listrik.
Penduduk Papua dan NTT adalah yang paling parah, kedua provinsi di timur
Indonesia ini rasio elektrifikasinya belum mencapai 60% pada tahun 2017. Apabila
target pertumbuhan ekonomi dan 100% rasio elektrifikasi tercapai maka hingga
tahun 2027, rata-rata peningkatan konsumsi listrik nasional diperkirakan sebesar 7% per tahun.
Hal yang pernah disorot oleh Kate Walton dalam artikel yang pernah dipublikasikan oleh LOWY INSTITUTE adalah “keengganan” pemegang kebijakan di Indonesia untuk
mendukung pengembangan EBT. Sesuatu yang aneh menurutnya, sebab setengah dari
potensi energi bayu saja sudah mampu memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Ladang angin pertama Indonesia dibangun pada 2018 di Sidrap, Sulawesi
Selatan. 30 turbin PLTB disana mampu menghasilkan 75 MW energi listrik untuk memenuhi
kebutuhan 70.000 rumah tangga.
Dibangun diatas lahan seluas 100 hektar, hingga kini masih dinobatkan
sebagai ladang angin terbesar di Asia Tenggara. Saat peluncurannya, Presiden
Joko Widodo sempat bercanda kalau suasana di Sidrap membuatnya merasa seakan
seperti sedang berada di Belanda.
Bagi investor asing masalah regulasi selalu jadi kendala utama mereka
ketika hendak masuk ke bisnis EBT di Indonesia. Secara ketentuan peraturan
perundang-undangan, listrik diposisikan sebagai hajat hidup orang banyak yang
harus dikelola oleh pemerintah baik melalui badan usaha milik negara atau
kemitraan publik-swasta.
Artinya, tidak ada perusahaan pembangkit independen yang dapat
menjual listrik langsung ke pelanggan. Sebagai gantinya, mereka harus menjual
listriknya ke PLN terlebih dahulu. Dalam banyak kasus, harga jual listrik yang
ditetapkan melalui Permen ESDM sering menimbulkan kekhawatiran bagi investastor.
Tantangan inilah yang kemudian ingin dicoba jawab oleh Pemerintah pada
penghujung tahun 2020 melalui rancangan Peraturan Presiden yang mengatur
pembelian listrik energi terbarukan oleh PLN.
Rancangan Perpres tersebut merupakan bagian dari kebijakan pendukung pengembangan energi terbarukan yang digagas oleh Kementerian ESDM. Sebagai penguatan regulasi EBT supaya tidak berbenturan dengan peraturan sejenis dari Kementerian atau Lembaga lain.
Berbeda dengan regulasi yang ada selama ini, harga listrik dalam rancangan Perpres dimaksud akan bersifat luwes terhadap aspek keekonomian proyek energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan titik lokasi dari pembangkit listrik itu sendiri, rancangan Perpres ini juga memuat ketentuan soal biaya penggantian selisih harga listrik sesuai regulasi dan biaya pokok produksi (BPP) agar listrik dari EBT nantinya benar-benar diserap oleh PLN.
Semangat baru di dunia EBT memang didorong oleh kesadaran para pengusaha selama pandemi virus corona. Seperti halnya UEA yang terjun ke bisnis EBT Indonesia dengan mengikuti tren baru, yaitu PLTS Terapung di waduk PLTA Cirata.
Menteri ESDM mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan menjadi salah satu strategi untuk dorong ekonomi pasca pandemic Covid-19, tidak hanya ekonomi berketahanan dan berkelanjutan tetapi juga mengurangi emisi dan menciptakan lapangan kerja.
Semoga saja regulasi kali ini benar-benar mampu mendongkrak pengembangan energi terbarukan. Karena telah banyak sudah pil pahit yang harus ditelan oleh kalangan perintis EBT di Indonesia, baik dari kelompok pengusaha maupun akademisi.
Regulasi tumpang tindih terkait dengan pemanfaatan lahan misalnya, serta harga jual listrik per kWH yang selalu dibandingkan dengan energi fosil, telah membuat berbagai program studi EBT di fakultas-fakultas ternama dalam negeri sulit “memasarkan” lulusannya. Tentu saja hal tersebut adalah akibat dari lesunya pertumbuhan industri EBT dalam negeri selama dua dekade terakhir.
Komentar
Posting Komentar