Lawatan PM Yoshihide Suga ke Vietnam dan Indonesia, Pertanda Baik Bagi Investasi di Sektor Energi Terbarukan ASEAN
![]() |
Panorama PLTS Terapung. Gambar: JICA |
Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, memilih untuk melawat Vietnam dan Indonesia terlebih dahulu ketimbang Amerika Serikat ataupun Korea Selatan. Selain membahas urusan pertahanan dan keamanan negara, kunjungan tersebut tentu juga akan berdampak positif pada pengembangan investasi energi terbarukan di ASEAN, khususnya pada kedua negara tersebut.
Yoshihide Suga baru saja dilantik menjadi PM Jepang pada bulan
yang lalu. Seperti pendahulunya, Shinzo Abe, Asia Tenggara menjadi destinasi perjalanan luar negeri resmi pertamanya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
hubungan pertahanan dan keamanan menyusul kekhawatiran tentang meningkatnya
ketegangan di Laut China Selatan.
Saat ini Vietnam merupakan Ketua daripada ASEAN, sedangkan
Indonesia masih menempati posisi sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia
Tenggara. Konsekuensinya, mempererat hubungan dengan kedua negara dapat menjadi
jalan tengah bagi ekonomi Jepang yang sedang memindahkan investasinya dari
China pasca pandemi Covid-19.
Seperti diberitakan oleh Reuters,
Jepang harus menyeimbangkan hubungannya dengan China selaku mitra dagang terbesarnya
saat ini dengan isu keamanan di Laut China Timur serta klaim atas pulau-pulau yang
disengketakan di Laut China Selatan. Namun demikian Jepang sangat berhati-hati
dalam mengasingkan mitra ekonomi besarnya tersebut dan enggan untuk terjebak
dalam konfrontasi langsung seperti halnya yang terjadi antara Amerika Serikat
dan China.
Pendekatan Jepang terkesan tegas, tenang dan cekatan dalam mengamankan
kepentingannya tanpa meminta negara mana pun untuk secara terang-terangan
melawan China. Peningkatkan kerja sama pertahanan menjadi "fokus utama"
perjalanan Suga ke Vietnam setelah sebelumnya tiga kapal perang Jepang berlabuh
di pangkalan Angkatan Laut Cam Ranh di negara tersebut.
Jepang tampaknya sudah menandatangani perjanjian ekspor senjata
dan teknologi pertahanan dengan Vietnam. Seperti sudah dimaklumi bahwa
akhir-akhir ini China mengklaim sebagian besar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam
serta Kepulauan Paracel dan Spratly. Sementara itu hal yang sama juga dialami
oleh Indonesia dimana penjaga pantai China secara provokatif dengan sengaja masuk
ke wilayah ZEE Kepulauan Natuna.
Awal Oktober 2020 lalu juga sudah dilakukan pertemuan informal
antar empat negara (Quad) di Tokyo. Pertemuan tersebut dihadiri oleh India,
Australia, Jepang, dan Amerika Serikat, yang oleh Pemerintah Washington dimaksudkan
sebagai “benteng pertahanan” dalam konfrontasinya melawan China.
Vietnam kemungkinan besar akan lebih mudah mendukung Quad secara
terang-terangan dibandingkan dengan Indonesia yang sudah terbiasa dengan
doktrin hubungan luar negeri bebas aktif. Hal tersebut tentunya mendorong
perusahaan Jepang untuk lebih mengutamakan Vietnam dibandingkan dengan
Indonesia.
Setengah dari 30 perusahaan Jepang yang mengambil bagian dalam
kebijakan diversifikasi sistem rantai pasok yang subsidi oleh pemerintah hingga
23,5 miliar yen menargetkan Vietnam sebagai lokasi baru industri mereka setelah
menutup produksinya di China. Sedangkan untuk memindahkannya ke Indonesia, para
pengusaha Jepang sepertinya masih pikir-pikir.
Mengapa demikian? Selain dari permasalahan birokrasi perizinan,
ternyata situasi selama pandemi Covid-19 dimana kasus terkonfirmasi yang sangat
rendah (hanya 1.000 kasus) telah membawa pengaruh positif yang sangat besar bagi
Vietnam. Tentu saja berbagai industri yang akan dipindahkan dari China tersebut
memerlukan suplai energi listrik yang memadai dimana Jepang merupakan salah
satu negara yang komitmennya pada aksi perubahan iklim tak lagi diragukan.
Artinya, pemindahan pabrik-pabrik milik Jepang tersebut tentu
saja akan diiringi dengan peningkatan investasi di sektor energi terbarukan di negara
tujuan. Kiprah perusahaan Jepang di Vietnam pada sektor energi terbarukan pun
bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 2018, Tokyo Electric Power Company Holdings Inc (TEPCO) sudah memilih
di Vietnam sebagai destinasi investasi luar negeri pertamanya di bidang
pembangkit listrik tenaga air.
TEPCO mengakuisisi 36,38 persen saham di Viet Hydro Pte. Ltd.
dari InfraCo Asia Development Pte. Ltd. Viet Hydro yang mengoperasikan
pembangkit listrik tenaga air Coc San di Provinsi Lao Cai. Sisa 63,62 persen
saham lagi dimiliki oleh Nexif Energy Management Pte., selaku produsen listrik
independen di Asia.
Kemudian pada Oktober 2019, Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menandatangani
perjanjian pinjaman $ 37 juta dengan Da Nhim-Ham Thuan-Da Mi Hydro Power Joint
Stock Company (DHD) untuk mendanai proyek instalasi pembangkit listrik tenaga
surya terapung pertama di Vietnam, senilai $ 4,4 juta. Diberikan dalam bentuk
pinjaman paralel dari Leading Asia's Private Infrastructure Fund (LEAP) yang didukung JICA.
Mendahului pembangunan PLTS Terapung terbesar ASEAN di Waduk Cirata, Vietnam sudah mencuri start dalam
meluncurkan proyek promosi energi terbarukan. Karena panel suryanya dipasang terapung
di atas air, problem pembebasan lahan seperti yang umumnya terjadi pada proyek
PLTS tidak lagi perlu untuk dikhawatirkan. PLTS Terapung pertama di Vietnam
tersebut memiliki kapasitas sebesar 47,5 MW.
Dan pada tahun 2020 ini, Bank Pembangunan Asia (ADB) kembali
memberikan pinjaman senilai US $ 186 juta untuk proyek PLTS 257 MW yang akan di bangun di Provinsi
Phu Yen, Vietnam.
Komentar
Posting Komentar