Ketahanan Energi Nasional dalam Konstelasi Global Tanpa Paradigma Politik Isolasi (Bagian 2)

Gambar: Pixabay

Pemenuhan kebutuhan energi nasional ibarat memberikan asupan nutrisi bagi tubuh manusia. Apabila komposisi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang diperoleh tubuh harus seimbang maka demikian pula kiranya dengan komoditas energi yang harus tersedia dalam sistem energi nasional suatu bangsa.

Sudah menjadi maklum memang bila sayur mayur bagus untuk kesehatan, tapi jika seseorang terus makan bayam dan wortel tanpa nasi maka tubuhnya akan menderita keracunan yang bisa menyebabkan kematian. Demikian pula dengan energi, semakin besar ketergantungan negara pada salah satu komoditas maka ketahanan energi nasional akan semakin rapuh.

Perbendaharaan energi suatu bangsa biasanya terdiri dari beberapa jenis komoditas. Batubara, gas alam, bioenergi, energi terbarukan dan uranium menopang kebutuhan sebagian besar pembangkit listrik nasional, sementara minyak bumi dan produk turunannya mendominasi sektor transportasi. Beberapa negara dapat mencapai swasembada pada salah satu diantara dua sektor tersebut. Contohnya Amerika Serikat, Prancis, dan Brasil yang secara praktis berhasil melakukan swasembada kelistrikan.

Namun di sektor transportasi, belum ada negara yang benar-benar mampu menyatakan dirinya mandiri sepenuhnya bahkan bagi negara penghasil migas sekalipun. Walaupun pandemi Covid-19 telah membuat mobil listrik hidup kembali, swasembada energi di sektor transportasi tetap menjadi hal yang mustahil untuk dilakukan negara mana pun.

Kebijakan swasembada secara amatiran sudah pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia semasa Orde Baru, yaitu dengan mendukung pembangunan industri pangan lokal untuk mengurangi impor produk pangan. Kebijakan seperti ini dikenal sebagai import substitution industrialization, yaitu kebijakan perdagangan dan ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri.

Maka lahirlah industri pangan lokal seperti Indofood yang kemudian memproduksi mie instan dan roti biskuit untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sebelumnya terpaksa di impor dari negara asing. Namun sayangnya, produk mie instant dan roti biskuit ternyata tidak menyerap komoditas pangan lokal seperti beras, singkong, ataupun sagu.

Bahan baku mie instant dan biskuit adalah gandum, komoditas pangan yang tidak dibudidayakan oleh petani lokal. Sehingga keuntungan yang diraup industri pangan lokal tidak mengalir ke komunitas petani dalam negeri. Alhasil, sektor industri dan pertanian jalan sendiri-sendiri, tidak saling menguatkan.

Berkaca dari hal tersebut maka bisa disimpulkan bahwa swasembada energi adalah solusi taktis yang mungkin memiliki efek positif pada neraca perdagangan suatu negara, bukan solusi jangka panjang untuk mengisolasikan diri dari perdagangan antar bangsa.

Semua negara, terlepas dari posisi mereka sebagai importir ataukah produsen, adalah bagian dari pasar energi global. Perbedaan padangan politik antar negara pun tak menghalangi hubungan dagang produsen dengan importir. Ketika Arab Saudi mengapalkan minyak mentahnya ke China dalam jumlah besar-besaran, Angola malah mendapatkan sedikit sekali kontrak pembelian dari Beijing.

Cara kerja pasar energi global di era modern membuat posisi eksportir dan importir relatif menjadi lebih setara. Selama komoditas energi dapat dipertukarkan, tidak ada eksportir yang dapat menekan importir tertentu dalam jangka panjang.

Ibarat memenuhi asupan nutrisi yang seimbang bagi tubuh dengan tidak bergantung pada sumber-sumber energi konvensional semata, ketahanan energi nasional harus diupayakan melalui diversifikasi energi. 

Untuk mencapai ketahanan energi nasional yang berkelanjutan maka paradigma swasembada energi hendaknya diganti dengan paradigma persaingan pasar energi. Karena paradigma swasembada biasanya lebih menekankan pada sistem proteksi ketimbang membiarkan mekanisme pasar bekerja untuk menentukan produk energi mana yang lebih unggul.

Suatu negara memang wajib mengembangkan sumber energi lokal yang tingkat penyerapan komponen dalam negerinya tinggi. Tapi pengembangan tersebut tidak boleh tanggung, harus terus dilakukan hingga tiga pilar ketahanan energi terbentuk sempurna.

Seperti yang telah disebutkan pada Bagian 1 tulisan ini, pilar ketahanan energi nasional suatu bangsa ada tiga, yaitu: aksesibilitas, daya beli, dan ketersediaan.

Aksesibilitas dapat dibentuk melalui pembangunan infrastruktur penyediaan, pengiriman, dan penyaluran energi. Daya beli diperoleh dari keunggulan kompetitif teknologi dalam negeri. Kemudian ketersediaan merupakan hasil dari optimalisasi pemanfaatan sumber lokal yang jumlahnya melimpah. 

Semuanya lagi-lagi harus melalui hubungan dagang yang saling menguntungkan antar bangsa tanpa dibumbui dengan paradigma politik isolasi. Seperti Arab Saudi yang bekerja sama dengan Jepang hingga berhasil mengirimkan blue ammonia kesana. 

Untuk diketahui bahwa blue ammonia merupakan produk energi bersih ramah lingkungan yang berasal dari minyak bumi. Disini Aramco mengembangkan teknologi ini bersama Institute of Energy Economics-Japan (IEEJ), menciptakan simbiosis mutualisme antar negara yang sama-sama berkeinginan menjaga ketahanan energi nasional masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia