Kebangkrutan Petrostate: Demagogi Hebat di Timor Leste sebagai Pembelajaran Bagi Daerah Penghasil Migas
![]() |
Pantai Pulau Jaco di Timor Leste. Gambar: Pixabay |
Setelah menggelontorkan jutaan dolar untuk mengambil alih proyek
migas dari tangan asing, kini Timor Leste malah menjadi Petrostate yang
bangkrut.
Petrostate adalah negara
yang ekonominya sangat bergantung pada produksi minyak mentah atau gas alam. Kehadiran
industri migas saja tidak serta merta membuat sebuah negara didefinisikan sebagai
petrostate, karena banyak negara-negara produsen migas dunia seperti Norwegia,
Kanada, dan Amerika Serikat yang tidak menggantungkan ekonominya pada produksi
minyak mentah atau gas alam semata.
Ciri khas Petrostate ada pada ketergantungan fiskal terhadap devisa asing dari
ekspor minyak. Memang banyak Petrostate yang rakyatnya hidup makmur, diantaranya
adalah negara-negara teluk seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dsb. Tapi ada pula
yang masih terus bergelut dengan kemiskinan seperti Nigeria dan Angola; ataupun
Venezuela yang bangkrut tiba-tiba.
Adapun sejarah Timor Leste tak bisa dipisahkan dari keberadaan
Blok Gas Greater Sunrise yang menjadi sumber konflik sekaligus harapan dan
kekecewaan bagi negara kecil termuda dan termiskin di Asia Tenggara tersebut.
Sebanyak 78% Produk Domestik Bruto (PDB) Timor-Leste pada
tahun 2012 berasal dari industri migas dan berkontribusi hingga lebih dari 96% dalan
struktur pendapatan negara pada tahun 2013. Hal ini pula yang menyebabkan Pemerintah Timor Leste abai terhadap investasi di sektor non-migas, terutama pertanian dan
sumber daya manusia.
Namun ada daya, setelah mengucurkan dana pinjaman asing secara
besar-besaran hanya untuk menyukseskan mega proyek industri migas, Pemerintah
Timor Leste malah membawa negaranya ke jurang kebangkrutan ekonomi.
Simak selengkapnya dalam tulisan sebelumnya: Kisah Nelangsa Timor Leste di Blok Gas Greater Sunrise.
Penyebab kegagalan Timor Leste tersebut dikupas oleh Ian Lloyd Neubauer dalam tulisannya kedapa Asian.Nikkei.
Dalam pandangannya, potensi pariwisata Timor Leste sangatlah
menjanjikan. Bahkan bila digambarkan secara ringkas, Timor Leste adalah Bali sebelum
didatangi turis mancanegara.
Dengan bantuan komunitas internasional, masyarakat Timor-Leste
memulai kembali pembangunan negaranya dari awal setelah berhasil melepaskan
diri dari Indonesia pasca referendum pada tahun 1999.
Di Indonesia sendiri, isu pengelolaan sumber daya alam migas
sendiri memang selalu jadi tema menarik bagi politisi lokal di daerah penghasil
migas. Apabila tidak ditanggapi dengan benar oleh pemerintah maka eskalasi tuntutannya
bisa meningkat hingga petisi permohonan pemisahan diri. Selain di bekas Provinsi
Timor Timur, hal ini yang juga pernah terjadi di Aceh dan Papua.
Kembali ke Timor Leste, pemerintah disana mengklaim bahwa
mereka telah menghabiskan 10 miliar dolar dana untuk infrastruktur selama 18
tahun terakhir. Secara kasat mata memang memperlihatkan laju elektrifikasi
pedesaan yang meningkat dari 20% rumah tangga pada tahun 2002 menjadi 80% pada
tahun 2018. Kemudian juga beberapa gedung pencakar langit di ibu kota Dili yang
dilengkapi dengan mal modern dan waralaba internasional.
Tapi kondisi jalan ke daerah wisata andalan malah tidak
tersentuh sama sekali, konon bahkan semakin memburuk. Kini, perjalanan sejauh
40 km dari Kota Dili ke Pantai One Dollar, memakan waktu hingga dua jam lamanya.
Untuk menikmati situs selam kelas dunia tersebut, para pelancong harus menyusuri
jalan tanah berlubang seukuran kawah bom.
Wajarlah apabila pada 2018, hanya 75.000 wisatawan yang
berkunjung ke Timor Leste. Jumlah tersebut kira-kira setara dengan jumlah turis
yang datang ke Bali setiap empat hari.
Di Pelabuhan Tibar, infrastruktur senilai 500 juta dolar
Amerika Serikat sedang dibangun, namun para pelawat malah menceritakan bahwa
mereka melihat anak-anak berusia delapan tahun bekerja sebagai pemulung di
tempat pembuangan sampah. Tak jarang juga mereka menemui pengemis yang berdiri
di luar supermarket mengharapkan uang kembalian. Bencana kelaparan seperti sedang
mengintai bangsa Timor Leste saat ini.
Layanan publik Timor Leste berantakan dari atas ke bawah.
Industri pariwisata telah disuntik mati oleh kebijakan yang tak terarah. Sebagian
besar angkatan kerja tidak memiliki pendidikan dan keterampilan sementara generasi
kanak-kanak berhadapan dengan masa depan yang suram tanpa prospek pekerjaan
yang berkelanjutan.
Tahun 2018, pemerintah Timor Leste membayar 650 juta dolar kepada
Shell dan ConocoPhillips agar mau merelakan saham mereka di Blok Gas Greater
Sunrise. Tiba-tiba dua tahun kemudian nilai saham di ladang migas tersebut terjun
bebas hingga tak lagi berharga sedikit pun alias nilai sahamnya kini nol dolar
saja.
Bagi Shell dan ConocoPhillips, melepaskan saham mereka di
Greates Sunrise merupakan “exit strategy” jitu tingkat tinggi. Sedangkan bagi Pemerintah
Timor Leste, hal tersebut adalah keputusan ceroboh yang berakibat fatal bagi kedaulatan
ekonomi negaranya sendiri.
Shell dan ConocoPhillips merupakan bagian dari perusahaan
migas raksasa yang menjadi industri terdepan dalam pemanfaatan teknologi baru
serta memiliki strategi manajemen risiko yang nyaris sempurna.
Merekrut para politisi dan akademisi agar regulasi dan opini
sains berpihak pada bisnis migas adalah sesuatu yang lumrah dilakukan oleh para
pebisnis migas melalui “divisi intelijen ekonomi” yang mereka dibiayai.
Pemerintah Timor Leste pun pernah disentil oleh Xanana Gusmao terkait dengan persoalan
investasi migas. Dimana Presiden pertama negara tersebut menekankan bahwa ada demagogi
serius dalam pernyataan pemimpin besar Fretilin terkait dengan proyek gas Timor
Leste.
Menurut Gusmao, pernyataan seperti itu pada hakikatnya merupakan
hasutan yang penuh kebohongan demi menyulutkan emosi masyarakat semata.
Menanamkan harapan fatamorgana dalam hati rakyat tanpa melihat dengan jeli
aspek keekonomian dari segala sisi.
Tampak bahwa sesuatu yang masih membutuhkan studi kelayakan malah
dijadikan sebagai jargon politik untuk menjual isu kesejahteraan. Hal yang
lazim dilakukan oleh kalangan politisi minim prestasi dimana pun mereka berada.
Sepertinya Xanana kini sudah tersadar bahwa dirinya telah
tertipu dengan paparan para ahli suruhan perusahaan migas yang berkamuflase
sebagai pebisnis sejati. Karena sebelumnya dia juga ikut menggagas proyek Tasi Mane
senilai 450 juta dolar untuk membangun bandara dan jalan raya di sepanjang pantai
selatan yang hampir tak berpenduduknya. Padahal keseluruhan rencana proyek itu dianggap
tidak layak oleh kebanyakan pakar ekonomi.
Terlihat walau tersirat, “operasi intelijen ekonomi” pebisnis
migas Australia sukses menyuntikkan “virus halusinasi” ke dalam pikiran para
pemegang kebijakan di Timor Leste. Negara kecil yang sedang tertatih-tatih itu
malah dihipnotis oleh taipan migas supaya mau berhutang untuk membeli saham
mereka yang sebelumnya sudah diprediksikan akan jatuh.
Kegagalan proyek migas Greater Sunrise telah merugikan Timor Leste
sekurang-kurangnya 1,1 miliar dolar, yang
kira-kira setara dengan produk domestik bruto negara tersebut pada tahun 2019.
Sementara 80% penduduk yang bergantung pada sektor pertanian hanya mendapatkan
2% dari APBN Timor Leste, sedangkan investasi di sektor kesehatan dan pendidikan
jauh lebih rendah lagi yaitu hanya 0,3% dan 0,2% saja.
Disinilah letak akar masalahnya, alokasi pengeluaran
pemerintah bukan diperuntukkan bagi sektor yang menopang kehidupan banyak orang
tapi dihabiskan seluruhnya pada proyek infrastruktur migas serta proyek-proyek
padat modal dan padat teknologi berskala besar. Padahal semasa sumur migas
mengering, beberapa perkebunan kopi kecil pun ternyata masih mampu memberikan
kontribusi bagi pendapatan negara.
Oleh sebab itu sedari dulu sepatutnya fokus negara termuda di
Asia Tenggara itu diletakkan pada penyediaan layanan pendidikan dasar dan industri
kreatif yang lebih beragam supaya tercipta lapangan pekerjaan jangka panjang berkelanjutan.
Hal ini dapat dilakukan melalui penguatan sektor unggulan seperti pariwisata
dan manufaktur yang menyerap komponen lokal.
Demikian pula kiranya bagi Daerah Penghasil Migas lainnya,
khususnya yang berada di Indonesia. Pemerintah Daerah tidak perlu terlalu
bersemangat untuk ikut serta dalam pengelolaan hulu migas yang penuh dengan risiko
tak terkendali. Karena harus diakui bahwa keberadaan pakar migas yang mampu memberikan
pertimbangan menyeluruh dalam sebuah uji tuntas (due diligence) proyek
migas sangatlah sulit di akses oleh Pemerintah Daerah.
Lagi pula, hulu migas tak menjanjikan lapangan pekerjaan padat
karya dan berkelanjutan. Bukan pula sektor penopang mata pencaharian dominan,
sehingga gelontoran investasi daerah di sektor ini tidak akan dirasakan
langsung oleh sebagian besar masyarakat.
Pikiran untuk memperkaya daerah melalui migas yang kemudian
kekayaan itu akan digunakan untuk membiayai kehidupan masyarakat adalah suatu
kesalahan konseptual tingkat dasar yang berujung pada tindakan menghasut (demagogi)
seperti yang telah dinyatakan oleh Xanana Gusmao.
Untuk membangun sebuah wilayah maka pemerintah setempat
haruslah menginventarisasi terlebih dahulu jenis sumber daya lokal yang menjadi
penopang struktur ekonomi setempat. Apabila sektor pertanian, perkebunan dan
pariwisata menjadi yang dominan, maka investasi pemerintah pun harus fokus pada
sektor unggulan. Pengembangan infrastruktur harus dikembangkan secara terarah
agar seluruh sektor unggulan dapat mengambil manfaat dari pembangunan.
Daripada menghabiskan sumber daya keuangan demi menyukseskan proyek
ambil alih blok migas, sektor hilir migas seperti lembaga penyaluran BBM dan
LPG malah menjanjikan pendapatan pasti dengan risiko terkendali bagi Pemerintah
Daerah. Setidaknya bisa jadi pelipur lara bagi politisi yang mati-matian hendak
melibatkan daerahnya untuk mengelola migas sendiri.
Berkaca pada kebijakan nasional, Indonesia pun kini sedang mengembangkan Lumbung Pangan Nasional (Food Estates) yang
luasnya setara dengan 10 kali negara Singapura. Food Estate tersebut
berfungsi sebagai pusat produksi cadangan pangan dari tanah milik negara,
penyimpanan dan distribusi cadangan pangan ke seluruh Indonesia.
Tanaman-tanaman seperti beras, jagung, dan singkong yang
ditanam di lahan seluas 800.000 hektar tentu saja memiliki peluang meningkatkan
ekonomi sekaligus mendukung ketahanan pangan nasional. Cadangan pangan penting untuk
mencegah kelangkaan beras dan dampak perubahan iklim bagi negara-negara tropis
seperti yang telah diprediksikan oleh Bank Dunia. Selain itu fokus kedepannya
adalah membangung industri pertanian yang memposisikan petani sebagai inti dari
proses ketenagakerjaan.
Akankah demagogi hebat di Timor Leste tersebut menjadi pembelajaran
bagi Daerah Penghasil Migas? Karena menjual isu migas untuk kesejahteraan memang
menggiurkan, apalagi bila sudah terjebak dalam “operasi intelijen ekonomi”
pebisnis migas yang sedang melancarkan “exit strategy”.
Komentar
Posting Komentar