Energi Simalakama, Gambaran Kebijakan Energi Kita
![]() |
Gambar: Pixabay |
Penyebab utama terjadinya perlambatan pencapaikan target
transisi energi dari fosil ke energi terbarukan di Indonesia adalah ekosistem kebijakan
yang tumpang tindih dan tidak konsisten alias berubah-ubah sesuka kehendak
pemegang kebijakan.
Dalam struktur birokrasi energi yang berlaku sejak awal era reformasi, kedudukan Menteri
ESDM, Dirut PT PLN, serta Gubernur dan/atau Bupati/Walikota (sebelum kewenangan
Kab/Kota di bidang ESDM dicabut) adalah saling tumpang
tindih sehingga kebijakan masing-masing pemangku kepentingan tersebut sulit
untuk dikonsolidasi.
Untuk itu kemudian Pemerintah dan DPR terus mencoba melakukan penyederhanaan
regulasi, diantarnya yaitu melalui pembahasan RUU EBT yang masih dalam tahap drafting oleh Badan Keahlian DPR RI.
Kompleksitas kebijakan energi Indonesia memang bukan isapan
jempol, bahkan Inside Indonesia
menerbitkan edisi khusus yang bertajuk Indonesian’s Energy Dilemma pada Oktober tahun ini.
Sejak 2017 sudah diumumkan bahwa target elektrifikasi 100% dalam
Kebijakan Energi Nasional (KEN) diharapkan tercapai pada tahun 2020 dan 23% EBT dalam
bauran energi nasional tercapai pada 2025.
Mengurangi emisi karbon sambil menjaga supaya harga energi
tetap terjangkau ternyata menjadi tugas berat bagi para pemangku kebijakan. Mengingat
bahwa Indonesia diberkahi dengan cadangan batu bara yang melimpah, sebagai
sumber energi sekaligus komoditas penyumbang devisa dan pajak bagi negara.
Sering terjadi keadaan dimana setiap insentif investasi yang semula
dirancang untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan harus tersandung di kaki “batu bara” sendiri yang tentu saja menawarkan harga energi yang
jauh lebih murah dibandingkan dengan energi dari EBT.
Sebelum melistriki wilayah-wilayah terpencil dan kepulauan tersebar,
tentu saja pilihan pertama bagi Pemerintah adalah melistriki terlebih dahulu
daerah padat penduduk yang memiliki kawasan industri. Harapannya tentu saja
agar setiap kWh energi yang dikonsumsi dapat menghasilkan nilai pertumbuhan
ekonomi yang berlipat ganda.
Setiap surplus produksi dari sektor industri semestinya dapat
diekspor dan menopang kesetimbangan neraca ekspor-impor pada tiap tahun anggaran.
Apabila rencana seperti ini dapat berjalan dengan baik maka keuangan negara akan
kuat sehingga mampu membiayai proyek-proyek yang terkait dengan pencapaian
target 100% elektrifikasi nasional.
Namun yang terjadi kemudian adalah kondisi yang bisa diibaratkan
sebagai simalakama energi karena pendapatan negara yang berasal dari ekspor
energi fosil dan industri ternyata sebagian besar tergunakan untuk subsidi
energi kepada masyarakat. Akhirnya keuangan negara tak pernah cukup kuat untuk
memodali proyek-proyek EBT berskala besar untuk melistriki industri.
Pada satu sisi, negara diberi mandat secara konstitusional untuk
menyediakan kebutuhan dasar energi dengan harga yang terjangkau bagi setiap warganya.
Tetapi di sisi lain secara ekonomi kita juga harus memaklumi bahwa pembangunan puluhan
ribu MW pembangkit listrik dan jaringan transmisi yang mampu melayani hingga lebih
dari 260 juta jiwa penduduk adalah mahal (bahkan sangat mahal).
Pengembalian dari investasi yang besar untuk proyek-proyek
tersebut hanya dapat diperoleh secara bertahap selama bertahun-tahun melalui tagihan
listrik yang dibayarkan oleh pelanggan. Pemerintah pun harus menjaga agar harga
listrik tetap rendah, terlepas entah itu dilakukan untuk tujuan politik ataukah
ekonomi, namun konstitusi memang mengamanatkan hal yang demikian.
Seperti yang juga berlaku pada komoditas Bahan Bakar Minyak
(BBM) jenis tertentu. Ketika kita membeli BBM di SPBU Pertamina, harga yang harus
dibayarkan per liter umumnya tidak mencerminkan biaya produksi yang harus
dikeluarkan oleh Pertamina itu sendiri.
Sudah dapat kita maklumi bersama jika Pertamina diberi penugasan
untuk menalangi terlebih dahulu biaya produksi BBM jenis tertentu tersebut hingga
Pemerintah berutang triliunan rupiah pada BUMN yang satu ini.
Dan itu juga terjadi pada PLN, maka tak perlu heran jika
kemudian PLN berusaha untuk memangkas biaya produksi serendah mungkin dengan
menggunakan sumber energi fosil domestik termurah yang melimpah ruah, yaitu:
batu bara.
Secara konstitusi pun Pemerintah punya kewenangan untuk memaksa
perusahaan penambang batu bara dalam negeri agar menjual sebagian batubaranya
ke PLN dengan harga yang lebih rendah daripada harga di pasar global.
Terjawablah sudah misteri: mengapa PLN sangat bergantung pada
batu bara? Hal ini ternyata sebagai akibat sinergisme dari upaya untuk menjaga
agar tarif dasar listrik tetap terkendali, intervensi Pemerintah di dalam pasar
energi untuk memanipulasi harga keekonomian yang sebenarnya, dan keinginan
untuk mendapatkan pendapatan dari royalty dan pajak pertambangan batu bara.
Secara global, rata-rata biaya investasi di sektor energi
terbarukan memang sudah turun drastis. Namun kondisi pasar di Indonesia masih
belum efisien, di tambah lagi dengan pengalaman traumatis para investor energi
terbarukan yang bagai ‘disuntik mati’ oleh peraturan harga jual yang tidak ekonomis
karena mereka hanya dapat menjual listrik produksinya pada PLN saja.
Meskipun secara filosofis kita sudah menyatakan diri
berkeinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta akan memanfaat sumber energi
baru terbarukan hingga 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, masalah
mendasar seperti ini haruslah diselesaikan terlebih dahulu sebelum dapat melangkah
lebih jauh.
Karena proses transisi energi di Indonesia kemungkinan akan
gagal apabila problem energi simalakama ini terus dilestarikan sehingga inefisiensi pasar energi nasional terus terjadi secara berkelanjutan.
Komentar
Posting Komentar