Energi Bersih Dapat Membantu Pemulihan Ekonomi Asia Tenggara Pasca Pandemi COVID-19
![]() |
Pekerja PLTB di Thailand. Gambar: ADB via wri.org |
Resesi ekonomi selama pandemi acap kali menjadi tren pembahasan
di berbagai media. Dan banyak di antara pemerhati ekonomi menyarankan agar
negara-negara yang menderita resesi segera memanfaatkan energi baru terbarukan
sebagai solusi bagi pemulihan ekonomi.
Teranyar adalah ulasan dari Marlon Joseph Apanada
yang dipublikasikan oleh World Resources Institute. Tulisan tersebut menyoroti tentang pemulihan kondisi ekonomi
negara-negara ASEAN pasca pandemi.
Sebelum di hantam oleh virus corona, Asia Tenggara merupakan salah
satu kekuatan ekonomi regional yang diperhitungkan secara internasional. Sektor
manufaktur, industri, dan jasa serta ekonomi kreatif berkembang di seluruh negara
ASEAN dalam beberapa dekade terakhir.
Permintaan energi pun tumbuh hingga 6% per tahun dan merupakan
salah satu wilayah yang memiliki pertumbuhan konsumsi energi tertinggi di
dunia. Namun negara-negara Asia Tenggara sebagian besar masih terus menggunakan
energi fosil dalam terutama dalam sistem penyediaan tenaga listriknya.
Padahal kondisi global kekinian, transisi dari energi fosil ke
energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih dan ramah lingkungan sudah menjadi
target nasional di berbagai negara untuk menghadapi resesi ekonomi pasca
pandemi.
Hampir 60% pasokan listrik Indonesia (29 GW) berasal dari pembangkit batubara. Apabila tambahan
pembangkit batubara yang sebesar 24,7 GW selesai dikerjakan, Indonesia akan menjadi
negara pengguna batubara kelima terbesar di dunia.
Sedangkan Filipina
berencana meningkatkan bauran batubara dalam penyediaan energi nasionalnya dari
52,1% (2018) ke 55,3% (2040) untuk mendukung industrialisasi. Untuk tahun 2019
saja, bauran EBT Filipinan turun 2% dari tahun sebelumnya menjadi 21%.
Hanya Vietnam yang tampak serius mengembangkan sektor energi
baru terbarukan yang ramah lingkungan. Bauran energi surya di negara tersebut
meningkat drastis dari dari sebelumnya hanya 0,5% menjadi lebih dari 8% pada
tahun 2019. Serta akan terus meningkat jika target 80 GW PLTS negara tersebut berhasil
dirampungkan pada tahun 2030.
Sementara itu, pandemi COVID-19 telah mengungkap kerentanan
ekonomi negara yang bergantung pada bahan bakar fosil. Pada September 2020 lalu,
Bank Pembangunan Asia telah meramalkan terjadinya penurunan yang luar biasa di
sisi konsumsi, investasi dan perdagangan Asia Tenggara. Perekonomian kawasan tersebut
diperkirakan tumbuh minus 3,8% pada tahun 2020, dimana delapan dari sebelas
negara akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif alias resesi ekonomi.
Bank Pembangunan Asia juga memperkirakan bahwa akan ada sebanyak
158 juta hingga 242 juta pekerjaan penuh waktu (6,0-9,2% dari total pekerjaan) yang
hilang di dunia selama tiga hingga enam bulan sejak skenario lockdown diberlakukan.
Ironinya, wilayah Asia dan Pasifik ternyata menguasai 70% dari total pekerjaan
yang hilang tersebut.
Membangun kembali ekonomi setelah COVID-19 tak mungkin dapat
terwujud tanpa tindakan cepat dan terkoordinasi dari para pemangku kepentingan
mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan, perusahaan listrik
negara dan swasta, serta konsumen energi itu sendiri.
Para pemangku kepentingan yang di maksud perlu secara bersama-sama
mengatasi masalah sosial-ekonomi yang semakin buruk sejak krisis kesehatan yang
berdampak pada ekonomi masyarakat saat ini. Diantaranya adalah perlambatan pertumbuhan
ekonomi yang berujung pada resesi, PHK yang menyebabkan angka pengangguran mencapai
rekor tertinggi, mahalnya biaya listrik dan risiko kesehatan dari energi fosil
yang selalu membebani keuangan negara.
Indonesia
secara khusus memang sudah mulai mereformasi regulasi energi untuk mendongkrak
EBT sebagai solusi pemulihkan ekonomi nasional pasca pandemi melalui rancangan
Peraturan Presiden yang mengatur pembelian listrik energi terbarukan oleh PLN.
Karena menambah kapasitas pembangkit batubara bukanlah cara tepat
untuk menarik diri dari krisis kesehatan dan resesi ekonomi. Transisi sistem energi
ke jalur yang lebih modern tidak hanya dapat mengamankan masa depan Asia
Tenggara sebagai kekuatan ekonomi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja bagi
sekian banyak angkatan kerja yang terkena PHK. Disamping juga mengatasi problem
perubahan iklim, energi rendah karbon juga dapat meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat ketika kelak sudah berproses.
Dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi (3D
Transisi Energi) adalah elemen kunci kesuksesan transisi energi
Asia Tenggara. Didefinisikan sebagai pergeseran inklusif dan responsif yang
pro-ekonomi, pro-bisnis, pro-rakyat dan pro-lingkungan. Gagasan mengenai
transformasi sektor kelistrikan ini ibarat mengubah aliran energi dari jalan satu
arah yang ditenagai oleh bahan bakar fosil menjadi jalan raya multi-arah dan
multi-lajur yang digerakkan oleh pembangkit listrik skala kecil yang
memanfaatkan sumber tak terbatas seperti matahari dan angin.
Dekarbonisasi dapat membatasi peningkatan
suhu global dan menyukseskan target Perjanjian Paris. Setiap negara di dunia wajib
menemukan teknik yang efisien dan ilmiah untuk mengurangi biaya pengoperasian energi
ramah lingkungan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Desentralisasi membuka peluang bagi unit
pembangkit energi yang lebih kecil dan tersebar yang menyalurkan listrik ke
pelanggan di mana pun mereka berada. Unit-unit yang lebih kecil ini juga
dikenal sebagai sistem energi terbarukan terdistribusi.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, Malaysia dan
Filipina, desentralisasi dapat berarti sebagai ketahanan energi, karena sistem energi
terbarukan terdistribusi dapat di sebar di banyak pulau. Sedangkan bagi
negara-negara Asia Tenggara daratan, medan pegunungan Kamboja dan Myanmar tak
lagi menjadi penghalang bagi infrastruktur energi apabila sistem energi
terbarukan terdistribusi termanfaatkan secara optimal.
Digitalisasi dapat mengatasi tantangan
kompleks dan perubahan cepat di sektor energi. Sistem energi Asia Tenggara
perlu merangkul solusi digital seperti Virtual
Power Plant untuk mengantarkan transformasi sektor tenaga listrik sukses
berintegrasi dengan energi terbarukan.
3D Transisi Energi tersebut apabila berhasil disinergikan akan
menurunkan penggunaan unit energi dalam pencapaian satu unit pertumbuhan
ekonomi serta menjaga ketahanan energi nasional pasca COVID-19 dengan ekonomi keberlanjutan.
Setidaknya ada 7 (tujuh) manfaat dari transisi ke energi rendah
karbon yang akan dinikmati oleh setiap negara di Asia Tenggara, yaitu:
1. Mengatasi Resesi Ekonomi
Kebijakan karantina (lockdown), pembatasan sosial dan penutupan
perbatasan telah melumpuhkan sektor konsumsi swasta, investasi publik, dan industri
pariwisata. Memecahkan rekor kontraksi ekonomi di Asia Tenggara yang sebelum
pandemi merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis kesehatan ini hampir setara dengan apa
yang telah diakibatkan oleh krisis moneter Asia 1997-1998.
Untuk periode April-Juni 2020, pertumbuhan ekonomi tahunan di
lima besar negara ASEAN hampir seluruhnya memperlihatkan fenomena resesi. PDB
Malaysia menyusut 17,1%, Filipina sebesar 16,5%, Singapura sebesar 13,2% dan
Thailand sebesar 12,2% —yang semuanya merupakan rekor terburuk bagi negara-negara
tersebut selama 20 tahun terakhir. Indonesia juga mencatat angka PDB terburuk
sejak 1999, mencatat kontraksi sebesar 5,3%. Hanya Vietnam yang berhasil mempertahankan
pertumbuhan ekonomi marjinalnya sebesar 0,4%, sedangkan rata-rata
pertumbuhannya sebelum pandemi sekitar 7%.
Menurut World Economic Forum, setiap dolar yang diinvestasikan dalam transisi energi dapat
memberikan keuntungan tiga hingga delapan kali lipat. Proyek EBT yang dirancang
dengan baik, berikut proyek modernisasi jaringan dan retrofit efisiensi
bangunan telah terbukti dapat menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan
memberikan keuntungan jangka pendek yang lebih tinggi dibandingkan dengan
stimulus fiskal konvensional. Pemulihan ekonomi yang berpusat pada investasi
ekologi dan program yang membangun ketahanan iklim juga akan dapat mencegah
krisis pangan, sesuatu yang juga telah diprediksikan akan melanda dunia dalam
waktu dekat.
2. Menciptakan Lapangan Kerja Energi Terbarukan
Pada bulan Juni, pemerintah Filipina menyampaikan bahwa lebih
dari 7,3 juta pekerjaan telah hilang karena COVID-19, mendongkrak angka
pengangguran negara itu hingga mencapai rekor tertingginya yaitu 17,7%.
Sementara, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Indonesia juga mengumumkan
bahwa tingkat pengangguran bisa naik menjadi 9,2% (hampir 13 juta orang) pada
akhir tahun 2020. Badan perencanaan negara Thailand juga mengatakan bahwa sebanyak
2 juta pekerjaan kemungkinan akan hilang tahun pada ini dan ada sebanyak 8,4
juta pekerjaan lainnya yang juga ikut beresiko.
Sementara efek desentralisasi energi akan terwujud jika adopsi
teknologi energi terbarukan dilakukan dengan benar. Hal inilah yang mendorong
terciptanya peluang kerja bagi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan sistem rantai pasok dari
hulu hingga ke hilir. Tahun 2018 saja sektor EBT telah mempekerjakan 11 juta
orang di seluruh dunia. Laporan McKinsey
pada Mei 2020 juga menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk energi
terbarukan dan efisiensi energi menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih
banyak. daripada menghabiskan bahan bakar fosil.
3. Mengurangi Beban Pemerintah di Sektor Kesehatan
Konsumsi bahan bakar fosil yang tinggi dapat meningkatkan
polusi udara yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Organisasi Kesehatan
Dunia memperkirakan bahwa polusi udara luar ruangan menyebabkan 4,2 juta
kematian balita di seluruh dunia pada tahun 2016, terbesar terjadi di Asia
Tenggara dan Pasifik Barat. Sebuah studi Harvard juga menunjukkan bahwa paparan
polusi udara berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi dan peluang kematian
karena COVID-19.
Tentunya pemulihan ekonomi pasca pandemi juga harus mencakup
upaya untuk mengurangi polusi udara. Transisi energi rendah karbon adalah solusi
jitu untuk dua masalah tersebut.
4. Menghemat Biaya Pembangkit Listrik
Meskipun harga batu bara dan minyak bumi telah anjlok di pasar
global selama penguncian COVID-19, harga listrik di Filipina tetap tinggi.
Paradoks ini sebagiannya dapat diselesaikan melalui perubahan dalam model
industri dan bauran energi, yaitu dengan mengurangi ketergantungan pada pembangkit
listrik terpusat yang menggunakan bahan bakar fosil impor dan beralih ke
pembangkit energi terbarukan terdistribusi dengan menggunakan sumber lokal.
Energi terbarukan ini nantinya akan semakin murah dan tidak memerlukan
infrastruktur terpusat.
Di Indonesia, rencana untuk menaikkan tarif listrik untuk 12
kelompok non-subsidi mulai tahun 2020 setelah dua tahun tidak naik adalah gambaran
sebenarnya tentang biaya listrik dari energi berbasis fosil. Tenaga surya dan
angin sekarang dapat memenuhi atau mengurangi harga listrik dari jaringan
listrik berbahan bakar fosil, yang mencerminkan penurunan harga energi
terbarukan selama puluhan tahun. Di Filipina, sebuah studi yang dirilis tahun
lalu menunjukkan bahwa harga eceran tenaga surya sudah bisa lebih murah
daripada tarif listrik dari jaringan terpusat, sebuah tren sejak 2018. Studi
lain menunjukkan bahwa di Asia Tenggara, biaya rata-rata pembangkit energi terbarukan
sebesar $ 64 per megawatt-hour (MWh) untuk tenaga surya dan $ 42 per MWh untuk tenaga
angin. Secara rata-rata dapat lebih murah daripada membangun baru pembangkit batubara
dan pembangkit listrik berbasis fosil lainnya.
Transisi ke sistem energi dekarbonisasi, desentralisasi, dan
digital juga dapat memberikann pilihan bagi konsumen untuk memanfaatkan sumber
energi berbiaya rendah, bersih, dan ramah iklim.
5. Mewujudkan 100% rasio elektrifikasi
Transisi energi akan membantu mencapai 100% elektrifikasi di
kawasan Asia Tenggara mengingat sekitar 45 juta orang di negara-negara ASEAN
hingga kini masih hidup tanpa listrik. Di Filipina, hampir 2 juta konsumen
masih belum mendapatkan akses listrik selama 24/7 pada tahun lalu. Sistem
pembangkit listrik dekarbonisasi dan desentralisasi yang tidak memerlukan
jaringan transmisi yang mahal untuk menjangkau medan yang sulit dan terpencil
akan lebih jauh lebih mudah diterapkan apabila pemerintah serius hendak
mencapai target 100% rasio elektrifikasi.
6. Mencegah Dampak Perubahan Iklim
Bencana yang disebabkan oleh iklim tentunya akan mengganggu
aktivitas ekonomi dan memperburuk krisis yang sudah ada. Bank Sentral Malaysia
telah menyatakan bahwa hampir seperempat dari aset industri asuransi lokal
dapat terkena risiko keuangan akibat perubahan iklim, dan telah memperingatkan
bahwa perubahan iklim dapat menimbulkan risiko sistemik pada sistem keuangan
Malaysia.
Pemerintah Singapura pun mengakui bahwa rata-rata permukaan
laut di Selat Singapura meningkat dalam kurun waktu 1975-2009. Transisi ke energi
rendah karbon dapat mencegah dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi jejak
karbon pada sektor listrik Asia Tenggara.
7. Meningkatkan Ketahanan Energi
Sistem tenaga listrik di negara-negara Asia Tenggara saat ini masih
menggunakan model pembangkit listrik terpusat yang populer pada awal abad ke-20.
Dalam sistem ini fasilitas pembangkit listrik besar memasok pengguna akhir
melalui jaringan transmisi dan distribusi. Namun, hal ini menimbulkan permasalahan
untuk pasokan listrik yang andal ke wilayah yang sering dilanda topan, gempa
bumi, dan gunung berapi yang dapat merusak jaringan transmisi dan distribusi.
Indonesia dan Filipina terdiri dari lebih dari 23.000 pulau,
dan sebagian besar wilayahnya berada di dalam Sabuk Topan dan "cincin
api" Pasifik. Wilayah tersebut tentunya membutuhkan konfigurasi energi
yang jauh lebih baik. Sistem energi terbarukan terdistribusi (ETT) tidak
bergantung pada bahan bakar tertentu yang harus diangkut ke lokasi pembangkit
besar terpusat.
Dengan sistem yang lebih kecil, pembangkit dapat ditempatkan
lebih dekat ke konsumen. Konfigurasi ini akan mengurangi kebutuhan biaya perawatan
saluran transmisi ekstra panjang yang dapat terkena badai atau gangguan alam
lainnya. Energi terbarukan juga memiliki posisi yang lebih baik untuk
memanfaatkan sistem penyimpanan energi baterai, yang harganya telah turun
hingga 50% selama dua tahun terakhir. ETT, terutama yang didukung dengan
baterai, dapat menyediakan daya cadangan yang cepat selama bencana, membuat
sistem ketahanan energi jadi lebih tangguh.
Komentar
Posting Komentar