Pertemuan Energi CEM11 di Arab Saudi dan Promosi Konsep "Circular Carbon Economy"
![]() |
Gambar: CleanEnergyMinisterial |
Arab Saudi dikabarkan terpilih sebagai tuan rumah acara "Clean Energy Ministrial meeting" ke-11 (CEM11), yaitu pertemuan tingkat menteri bagi negara yang tergabung dalam G20, Nordic Countries, dan European Commission. Adapun topik bahasan mereka adalah percepatan implementasi program transisi energi ke energi bersih ramah lingkungan.
Dalam pekan terakhir bulan September 2020 ini, para pemangku kebijakan dan pakar energi dunia dijadwalkan untuk melaksanakan "meeting online" yang diketuai oleh Pangeran Abdulaziz bin Salman Al Saud selaku Menteri Energi Arab Saudi.
Pertemuan CEM11 akan berlangsung pada 22 September, mengangkat tema “Supporting the recovery, shaping the future”. Artinya pertemuan tersebut akan fokus pada pemulihan sektor energi dari dampak pandemi virus corona serta menyusun langkah untuk mempercepat progres transisi energi.
Menyusul pula pertemuan "Mission Innovation Ministerial meeting" ke-5 (MI-5) pada hari berikutnya yang akan menguraikan bentuk kerjasama lanjutan antar negara anggota pertemuan di masa depan.
Pertemuan terakhir serupa sudah terlaksana pada bulan April lalu, ketika krisis besar sedang menerpa sektor energi global dan menjadi krisis terbesar dalam beberapa dekade terkahir.
Permintaan minyak mentah yang anjlok akibat kebijakan lockdown selama awal pandemi COVID-19 memberi pengaruh besar bagi kelangsungan aliansi OPEC+ yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia.
Arab Saudi dan Rusia sejak sebelum pandemi memang sudah mulai terlibat perang harga yang tujuan akhirnya adalah menguasai pangsa pasar minyak mentah. Anjloknya permintaan minyak dunia dengan tiba-tiba membuat aliansi OPEC+ menjadi semakin tercabik, seakan sudah kehilangan arah.
Frank Kane, seorang pemenang penghargaan di bidang jurnalis bisnis yang menetap di Dubai mencatat bahwa saat itu Arab Saudi, Amerika Serikat dan Rusia masih sering telpon-telponan supaya pasar energi minyak mentah jangan sampai terjun bebas kedalam jurang kehancuran.
Hasilnya ternyata cukup memuaskan, harga minyak mentah dunia yang sempat mengalami fenomena Black Monday ternyata mampu terselamatkan setelah KTT energi G20 dan pertemuan OPEC+ digelar secara simultan.
Pertemuaan kali ini tentu berlangsung dalam suasana yang lebih nyaman dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya. Para peserta akan menentukan sikap yang lebih mempertimbangkan masa depan energi setelah berhasil selamat dari krisis. Tentu menjadi momentum positif bagi transisi energi dunia.
Efek jangka panjang pandemi terhadap permintaan minyak dunia tentu jadi prioritas utama pembahasan. Anggota OPEC+ pastilah menunggu jawaban pakar energi tentang: kapan kiranya harga minyak mentah bisa kembali ke level sebelum COVID ataukah dunia memang telah benar-benar sepakat hendak "say good bye" pada "oil and gas"?
Pada awal musim panas tahun ini ketika kebijakan "lockdown" mulai dilonggarkan dan aktivitas ekonomi memasuki era "new normal", ada secercah harapan yang menunjukkan bahwa harga minyak mentah mulai pulih kembali.
Tapi sirna segera setelah munculnya fenomena serangan virus korona gelombang kedua, memaksa kembali pemberlakuan kebijakan pembatasan pergerakan yang lagi-lagi berakibat negatif pada geliat sektor transportasi.
Mungkinkah permintaan minyak dunia kembali ke angka 100 juta barel per hari seperti sebelum masa COVID-19?
Ketika perusahaan energi asal Inggris, BP, memperkirakan bahwa titik puncak permintaan minyak mentah dunia sudah terlampaui; kontan perdebatan sengit diantara delegasi energi anggota G20 pun tak terelakkan.
Sebelum perdebatan itu dimulai tentunya ada masalah lain yang lebih besar isunya untuk dibahas secara seksama, yaitu isu tentang perubahan iklim. Arab Saudi menjadi tuan rumah bagi pertemuan virtual CEM11 ini setelah Chile tak mampu menyediakan akomodasi rapat.
Agenda besar mengenai masalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan disepakati sebagai tantangan terbesar bagi kelangsungan industri energi dunia. Pembahasan mengenai efisiensi energi, energi terbarukan dan alternatif pemanfaatan sumber bahan bakar hidrokarbon pastilah membawa pengaruh positif pada proses transisi ke energi yang lebih bersih dalam satu dasawarsa mendatang.
Arab Saudi sendiri secara khusus punya konsep andalan untuk menangani problematika perubahan iklim, yaitu Circular Carbon Economy (CCE) atau bila diterjemah secara harfiah menjadi sirkulasi ekonomi karbon. CCE adalah konsep baru dalam ekonomi perubahan iklim yang mulai populer sejak akhir tahun lalu.
"Menyadari urgensi perubahan iklim sambil memastikan ketersediaan akses ke energi bersih dan terjangkau bagi segala kalangan, dengan ini Kerajaan Arab Saudi mempromosikan model 'Circular Carbon Economy' sebagai pendekatan yang berkelanjutan, pragmatis dan murah dalam meraih tujuan ambisius penyelamatan iklim global", terang Dr. Khalid Abuleif, selaku moderator diskusi panel pada UN Climate Change Conference yang diselenggarakan pada bulan Desember 2019 di Madrid, Spanyol.
Dunia memang butuh akan teknologi praktis dan mekanisme pasar yang benar-benar mampu mengentaskan CO2 dari udara. CEM11 adalah kesempatan untuk memulai kolaborasi global yang melibatkan investasi besar-besaran tanpa memecah belah dunia dalam perbedaan mazhab yang melelahkan.
Apabila konsep 'sirkulasi ekonomi karbon' dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah sebagai cara baru dalam mengatasi problematika energi dan iklim tentu saja harus dapat diterima dengan tangan terbuka oleh segala pihak. Secara implisit setiap pemangku kebijakan dan pakar energi harus dapat menghargai semua opsi yang dipercaya mampu mengurangi akumulasi karbon di atmosfer bumi berikut juga menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi global.
Komentar
Posting Komentar