Kisah Pebisnis Migas Yang Menyangkal Fakta Ilmiah Perubahan Iklim (2)

Gambar: ScienceAlert

Pebisnis migas pernah mengumpulkan para ilmuan untuk meneliti tentang dampak energi fosil pada pemanasan global dan perubahan iklim. Namun ketika fakta ilmiah apa adanya disampaikan oleh salah seorang peneliti muda, para manajer perusahaan malah menolak untuk menerimanya.

Dan kita sudah sama-sama menyimak kisah kesaksian peneliti muda yang dimaksud pada tulisan sebelumnya, yaitu testimoni Prof. Martin Hoffert yang diangkat kembali oleh BBC.

Namun persepsi publik tentang bahaya perubahan iklim tidak dapat selamanya dikelola oleh pebisnis migas walau sumber daya keuangan mereka seperti tak terbatas. Momentumnya ada ketika pandemi virus korona merebak, membuat banyak pengusaha muda sadar akan lingkungan.

Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Jaksa Agung Minnesota, Keith Ellison, untuk menggugat ExxonMobil, American Petroleum Institute (API) dan Koch Industries pada Juni 2020. Alasannya karena semua institusi itu dituduh terlibat skandal upaya menyesatkan publik agar tidak mendapatkan informasi yang sempurna akan fakta ilmiah tentang perubahan iklim.

Dalam gugatannya, penggugat mengklaim bahwa terdakwa merahasiakan keberadaan dokumen internal yang menunjukkan bahwa terdakwa memahami dengan baik efek kerusakan yang akan ditimbulkan oleh produk mereka terhadap iklim.

Tidak hanya merahasiakan, terdakwa juga dihadapkan pada tuduhan bahwa mereka secara bersama-sama terlibat dalam aksi kampanye "anti perubahan iklim" dan secara sengaja menyangkal fakta ilmiah perubahan iklim.

Dakwaan tersebut disusun berdasarkan penelitian telaten selama bertahun-tahun oleh orang-orang seperti Kert Davies, pendiri Climate Investigation Center dan Naomi Oreskes, profesor sejarah sains di Universitas Harvard.

Tapi ExxonMobil dan kawan kawan menanggapi ringan dakwaan tersebut dan menganggapnya sebagai tuduhan tak berdasar dan tak berujung pangkal.

Wajar bila Exxon merespon dengan cara demikian karena pastilah mereka tidak akan terima bila "kejahatan ilmiah berjamaah" itu harus mereka sendiri yang menanggung akibatnya. Karena pada tahun yang sama ketika Levine memaparkan dokumen rahasia tersebut, seluruh perusahaan energi terkemuka dan negara-negara eksportir migas melakukan lobi-lobi politik dan media melalui organiasi Koalisi Iklim Global (GCC).

GCC adalah kelompok pelobi bisnis internasional yang telah dibubarkan pada tahun 2001. Bertujuan untuk menentang segala upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dan secara terang-terangan menantang ilmu pengetahuan yang membenarkan fenomena pemanasan global.

Lalu pada tahun 1991, Edison Electric Institute (asosiasi perusahaan listrik Amerika Serikat) membuat kampanye khusus untuk memposisikan pemanasan global sebagai teori yang belum terbukti melalui lembaga baru yang bernama Information Council for the Environment (ICE)

ICE terbukti menjalankan kampanye iklan yang dirancang untuk merongrong dukungan publik dengan cara menjejali informasi yang tidak seutuhnya pada masyarakat. Contohnya dengan menyebarkan selebaran propaganda yang berisi kalimat: 'Jika dunia sedang memanas, mengapa Kentucky semakin dingin?'. Jenis pertanyaan retorika ini tentunya memberi kesan yang meyakinkan pada publik padahal fakta ilmiah tentang pemanasan global ada dalam tangan mereka.

Sekiranya perubahan iklim terjadi dengan lamban mungkin kampanye anti ilmu pengetahuan itu masih efektif hingga sekarang. Malangnya bagi penduduk dunia adalah harus menanggung dampak pemanasan global yang merusak pertanian dan menyebabkan kelaparan dalam skala besar, padahal sepatutnya masih bisa dikendalikan.

Pebisnis migas selama hampir dua dekade berhasil memainkan taktik jitu dalam menghadang fakta ilmiah perubahan iklim. Perusahaan milik mereka ditugaskan untuk merekrut dan melatih tim peneliti serta menggembar-gemborkan ke media massa. Seakan-akan memang ada perbedaan pandangan yang saling bertolak-belakang diantara para ilmuan.

Taktik ini penting supaya publik berasumsi bahwa pebisnis migas bukannya menolak fakta ilmiah perubahan iklim, tetapi mereka hanya lebih percaya pada pandangan para ilmuwan lain hasil "pelatihan khusus" yang tampaknya independen.

Debat kusir pura-pura ilmiah yang disiarkan di televisi pun merupakan bagian dari strategi pebisnis migas. Publik digiring untuk menonton silat lidah antara para ahli yang memaparkan detail teknis yang rumit tentang ilmu kebumian. 

Pastilah hal ini berpotensi membingungkan khalayak karena jangankan bagi kalangan awam, lulusan sarjana teknik pun belum tentu mampu memahami isi kajian. Masyarakat pun akhirnya akan tambah bingung tanpa tahu siapa yang harus dipercaya.

Seorang Profesor dari Universitas Drexel, Bob Brulle, berhasil mengidentifikasi sumber pendanaan untuk 91 lembaga yang melakukan "gerakan melawan" --Cato Institute termasuk didalamnya--perubahan iklim yang pada tahun 2003 hingga 2007 menerima uang dari ExxonMobil sebesar 7,2 juta USD. Sementara itu American Petroleum Institute (API) juga ikut menyumbang sekitar 4 juta USD pada kurun tahun anggaran 2008 hingga 2010.

Sebagian besar organisasi yang menyangkal fakta ilmiah perubahan iklim adalah lembaga pendukung liberalisasi industri yang sangat anti regulasi. Merupakan sekutu ilmiah pebisnis migas karena mereka pasti menentang intervensi pemerintah dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Penentangan tersebut mungkin menurut mereka dilakukan atas dasar ideologis, yaitu pengagungan terhadap teori mekanisme pasar dan anti paham sosialis.

Hal tersebut kita ketahui dari pengakuan Jerry Taylor, salah satu peneliti di Cato Institue yang telah mengabdi selama 23 tahun dan terakhir menjabat sebagai wakil presiden. Dia mengatakan bahwa penentangan terhadap fakta ilmiah perubahan iklim karena anggapannya jika seseorang percaya pada perubahan iklim, maka ideologi orang itu adalah sosialis. 

Itulah yang telah dilakukan oleh para skeptis perubahan iklim di Amerika Serikat agar masyarakat disana alergi dengan topik bahasan yang satu ini. Argumen bantahan pun sekedar mengutarakan apa yang diyakini saja tanpa dukungan model penelitian yang sepadan. Tapi cukup efektif karena media massa menyebarkannya dengan cara seksama.

Penelitian Naomi Oreskes menyingkap fakta bahwa tokoh utama penentang perubahan iklim bukanlah ilmuan di bidang ilmu kebumian dan lingkungan hidup. Mereka hanyalah ahli di bidang energi yang tidak memiliki kompetensi dalam ilmu iklim.

Contohnya adalah Fred Seitz, seorang fisikawan nuklir dan mantan President of the US National Academy of Sciences. Dan dia adalah seorang anti-komunis yang percaya bahwa intervensi pemerintah pada pasar energi akan menjerumuskan negara kedalam paham sosialisme. 

Sayangnya, tokoh-tokoh seperti Fred Seitz ini berani mengomentari fakta ilmiah perubahan iklim tanpa terlebih dahulu menakar kompetensi dirinya sendiri. Lalu terjebak dalam pikirannya sendiri yang tak mampu memahami ilmu kebumian dan lingkungan hidup dengan seutuhnya.

Tapi sebenarnya para peneliti penentang itu adalah hasil penggalangan perusahaan migas, membuktikan bahwa pebisnis migas memang punya strategi manajemen risiko yang nyaris sempurna. Punya taktik jitu dalam mendanai politisi, aktivis, dan akademisi; supaya regulasi, persepsi publik, dan opini 'ilmiah' selalu menguntungkan bisnis migas.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia