Kisah Nelangsa Timor Leste di Blok Gas Greater Sunrise, Sebuah Konsekuensi Logis dalam Pertaruhan Bisnis di Hulu Migas

Sumber: researchgate.net

Sejarah Timor Leste tak bisa dipisahkan dari keberadaan Blok Gas Greater Sunrise yang menjadi sumber konflik sekaligus harapan bagi negara kecil termiskin di Asia Tenggara tersebut.

Cadangan hidrokarbon di wilayah ini sudah di eksplorasi oleh Australia ketika teritori Timor Leste masih dibawah kendali Portugis, yaitu sejak tahun 1960 hingga 1974.

Pada tahun 1974, kontraktor migas asal Australia, Woodside, menemukan cadangan gas sebesar 5,13 tcf atau hanya sepertiga dari cadangan ladang gas Arun di Aceh (+- 17 tcf). Ladang gas Arun juga baru ditemukan pada tahun 1971. 

Sebelum pandemi virus korona, nilai cadangan migas Greater Sunrise diperkirakan sebesar 50 miliar USD. 

Ketika Portugis melepas kontrolnya terhadap teritori Timor Leste pada tahun 1974, Australia semacam memanas-manasi Indonesia supaya mau masuk ke Timor Leste karena berada tepat di timur Provinsi NTT.

Padahal itu cuma bagian dari strategi untuk mengamankan investasinya di laut lepas Timor Leste mengingat hubungan diplomatik negeri kangguru tersebut dengan Indonesia ketika itu masih sangat harmonis bagaikan teman karib.

Bahkan CNBC pernah mengulas bahwa Indonesia tidak akan mantap sikapnya untuk memasukkan Timor-Timur sebagai provinsinya yang ke 27 andaikata Presiden Soeharto tak diyakinkan oleh Gough Whitlam, Perdana Menteri Australia saat itu.

Australia mengakui kedaulatan Indonesia di Timor Leste pada tahun 1979, sebagai imbalannya negeri bumerang itu mendapatkan perjanjian Celah Timor atau Timor Gap. Sebuah perjanjian yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di perbatasan laut lepas Indonesia dan Australia yang tentunya sangat menguntungkan bagi Australia.

Tapi dinamika politik memang tak selalu mudah untuk ditebak, karena kemerdekaan Timor Leste pada tahun 2002 tak lepas dari peran penting Australia yang ikut memberikan pengakuan kedaulatan bersama negara-negara sekutunya.

Lagi-lagi Australia menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan senjata diplomatik. Timor Leste harus merelakan hasil alamnya yang sudah disedot oleh Australia sejak tahun 1960 tanpa kompensasi apa pun. 

Lalu Australia memang menyerahkan Blok Gas Greater Sunrise kepada Presiden Xanana Gusmao tapi disertai syarat bagi hasil yang tetap menguntungkan keuangan negara tempat binatang marsupialia itu berasal.

Ulasan Ian Lloyd Neubauer kepada Asian.Nikkei seakan menjadi pelengkap cerita nelangsa Timor Leste di Blok Gas Greater Sunrise.

Pandemi Covid-19 dan anjloknya harga minyak mentah dunia menjadi senjata pamungkas pemusnah impian Timor Leste untuk dapat mandiri secara finansial dan mengakhiri ketergantungannya pada bantuan asing. 

Padahal sejak awal kemerdekaanya, pemimpin Timor Leste telah mempertaruhkan nasib bangsanya sebagai sebuah negara berdaulat dengan mengucurkan dana pinjaman asing secara besar-besaran hanya untuk menyukseskan mega proyek industri migas.

Di bawah pengawasan Gusmao, Timor Leste telah menghabiskan ratusan juta dolar untuk proyek Tasi Mane, membangun bandara serta jalan raya yang ternyata hingga saat ini masih belum sepenuhnya tergunakan.

Tanpa mempertimbangkan risiko keekonomian, pada tahun 2018 Xanana membeli saham ConocoPhillips dan Shell - senilai 650 juta USD. Membuat Timor Leste menjadi pemegang saham mayoritas Greater Sunrise (57%), berdampingan dengan Woodside Petroleum Australia (33%), dan sisanya dipegang oleh Osaka Gas Jepang.

Tapi malang bagi Xanana, kondisi pasar energi global pada tahun 2020 membuat semua perusahaan migas merugi. Bahkan raksasa migas sekelas ExxonMobil pun terdepak dari bursa DowJones pada bulan Agustus silam.

ConocoPhillips dan Shell pastinya merasa sangat beruntung karena Timor Leste telah bersedia membeli bisnis mereka yang sudah tidak lagi ekonomis. Kalah telak dalam pertarungan bisnis merupakan kesedihan bagi rakyat Timor Leste sekaligus kisah nelangsa bagi Xanana Gusmao.

Iklim bisnis di sektor hulu migas memang keras. Dalam kurun tahun 2011 - 2015 saja, ada belasan kontraktor migas yang terpaksa menanggung kerugian hingga triliyunan rupiah akibat kegagalan eksplorasi mereka di Indonesia. Termasuk pula diantaranya ConocoPhillips, yang investasinya di Blok Kuma, Amborip IV dan Blok Arafura membuat dana sebesar Rp. 3,8 triliyun amblas tak berbekas.

Lalu ExxonMobil yang juga harus rela kehilangan Rp. 3,6 triliyun di Blok Surumana dan Blok Mandar yang terletak diperairan Pulau Sulawesi. Maka jadi unik apabila kemudian ada yang berasumsi bahwa lapangan migas tertentu, seperti Blok Gas Greater Sunrise misalnya, bisa menjanjikan keuntungan investasi secara pasti. Karena kepastian yang terjamin di sektor hulu migas hanyalah ketidakpastian itu sendiri. 

ConocoPhillips dan ExxonMobil adalah dua pemain besar yang punya sederet prestasi monumental, kompetensinya di bidang hulu migas tak lagi diragukan. Namun demikian, raksasa migas itu pun terkadang juga harus merasakan pahitnya kekalahan ketika bertaruh dengan kondisi alamiah cekungan hidrokarbon yang berada di bawah permukaan bumi.

Memposisikan migas sebagai solusi instan bagi problematika kemiskinan suatu bangsa adalah sebuah kekeliruan. Contoh konkritnya adalah Nigeria dan Angola, dua negara produsen migas tersebesar dunia dari benua Afrika itu masih terus bergelut dengan kemiskinan walaupun industri migasnya sudah berkembang.

Tanpa perhitungan bisnis yang matang, hutang negara yang dialokasikan untuk pembangunan industri migas malah mengantarkan Timor Leste menjadi negara tak berdaya secara finansial.

Satu-satunya harapan bagi Timor Leste kini adalah kesediaan China untuk membiayai proyek Tasi Mane. Dan dapat dibayangkan jika Xi Jinping mau dan mampu mendanai proyek tersebut, Beijing nantinya bisa membangun pangkalan laut di Asia Tenggara. Sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh pemimpin negeri tirai bambu tersebut. 

Persaingan geostrategisnya dengan AS akan memasuki babak baru jika Timor Leste berhasil terjerat jebakan hutang China. Hal inilah yang kemudian digaris bawahi oleh Neubauer dalam ulasannya.

Apapun itu, kisah nelangsa Timor Leste di Blok Gas Greater Sunrise sepertinya masih akan terus berlanjut. Sebuah konsekuensi logis dalam pertaruhan bisnis di sektor hulu migas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia