Kemilau Tembaga dan Transisi Energi Sektor Transportasi
![]() |
Gambar: wikimedia.org |
Kawat tembaga dipakai sebagai konduktor listrik utama
pada hampir semua jenis kawat listrik, seperti halnya kabel gedung, kabel
telekomunikasi, kabel otomotif, kabel magnet, dsb.
Berdasarkan laporan Bisnis.com,
pada posisi bulan Juli tahun ini harga tembaga yang diperdagangkan bergerak naik
0,23 persen jika diperhitungkan secara year-to-date (ytd). Dengan kata lain,
tembaga merupakan komoditas terbaik kinernyanya di antara logam dasar lainnya.
Sedangkan Mining.com
lebih mendetilkannya lagi dimana penyebab membaiknya harga tembaga pada
semester kedua tahun ini adalah karena booming permintaan China dan tersendatnya
pasokan dari Amerika dan Afrika.
Ternyata separuh konsumsi tembaga dunia rupanya di
borong habis oleh China, negara itu mengimpor
lebih banyak tembaga ketika pandemic Covid-19 masih memaksa eksportir untuk
mengurangi operasional tambang mereka.
Hal ini kemungkinan besar menunjukkan pergeseran
struktural konsumsi jangka panjang, bukan sekedar perubahan sementara.
Karena China sebagai raksasa ekonomi Asia diketahui
cukup peka dengan arah perkembangan ekonomi global. Dan ketika arah transisi
energi di sektor transportasi sedang semarak maka China benar-benar
mempersiapkan industri otomotifnya untuk mendominasi pangsa pasar mobil listrik
murah dunia. Setidaknya ada lima fakta penting berikut ini yang patut menjadi pertimbangan.
Pertama, Bank Dunia sekarang mulai
selektif dalam memberikan kredit untuk proyek energi. Langkah
ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2017 ketika Bank Dunia mengumumkan akan menghentikan
bantuan pendanaan untuk eksplorasi minyak dan gas pada 2019.
Kedua, pada pertengahan tahun ini produsen mobil
listrik asal China bernama Changli Nemeca memproduksi kendaraan
elektrik termurah yang dijual dengan harga bawah Rp 15 juta.
Mobil ini dijual di e-commerce untuk pembeli untuk menjangkau pembeli di
seluruh dunia.
Ketiga, Wuling, meluncurkan mobil listrik Hongguang
Mini EV yang juga dijual murah yaitu senilai 28.800 yuan atau
setara Rp 61 jutaan. Berbeda dengan Changli Nemeca yang hanya mampu mengapai
kecepatan 35 km/jam, Hongguang bisa dipacu hingga 100 km/jam serta mampu
menempuh 200 km dalam satu kali pengisian daya.
Keempat, produsen lainnya asal China, Nio, menawarkan
konsep pinjam
baterai dalam skema pembelian mobil listrik buatan mereka.
Dengan membayar biaya sewa baterai sebesar Rp 2 juta per bulan, maka konsumen
tentu dapat memperhitungkan penghematan biaya operasional kendaraannya bila
beralih ke mobil listrik. Sejauh ini Nio hanya melayani pasar China.
Kelima, Today Sunshine New Energy Vehicle Industry
yang berasal dari Taizhou, Zhejiang, China bersama PT. Sumber Energi Sukses
Makmur (SESM) bakal membangun
pabrik mobil listrik di Batam pada tahun depan. Menandakan
keseriusan industri China untuk mendominasi pangsa pasar mobil listrik murah di
Asia Tenggara.
Transisi energi di sektor transportasi sebetulnya bukanlah
hal baru karena General Motors sudah memproduksi mobil listrik modern yang
dijuluki EV1 sejak pertengahan 90-an. Sesuatu yang sepatutnya sejak dulu dapat
mendorong perubahan dunia otomotif ke energi yang lebih bersih.
EV1 dibekali dengan teknologi motor induksi AC tiga
fase serta baterai aki yang kemudian digantikan dengan baterai NiMH, pilihan
yang tepat sebagai sarana transportasi dalam kota karena gesit, cepat, dan
bebas asap.
Kelangsungan hidup EV1 ternyata tak bertahan lama
karena dikalahkan oleh produsen mobil berbahan bakar fosil. Meskipun General
Motors ketika itu bersikeras bahwa kendaraannya secara komersial tidak layak, masyarakat
awam tetap membangun spekulasi berdasarkan tren produksi mobil SUV besar yang
boros bahan bakar dalam jajaran produk General Motors disamping EV1.
Tersiarlah kabar angin bahwa mobil listrik kemungkinan
sengaja dihentikankan produksinya karena berpotensi menjadi ancaman bagi produk
mobil General Motors yang bahan berbakar fosil. Sebab mobil listrik konon
katanya minim biaya perawatan, hal ini bisa merugikan bisnis suku cadang
otomotif.
Dan sejarah mencatat bahwa tidak
ada yang dapat menyamai Tesla dalam hal memperjuangkan
mobil listrik agar dapat hidup kembali.
Tesla memang dikenal sebagai merupakan perusahan
otomotif dan peralatan penyimpan energi asal Amerika Serikat yang didirikan
oleh Elon Musk dkk. Mereka terus menerus menghadapi ketatnya persaingan dunia
otomotif yang dikuasi oleh teknologi mesin bakar internal berbahan bakar fosil.
Beruntung Tesla memiliki tim yang tangguh dan juga
keras kepala serta kebulatan hati Elon Musk dkk itu sendiri tentunya. Kalau
tidak tentu saja produk mobil listrik perusahaan ini akan bernasib yang sama
seperti EV1 milik General Motor.
Mobil listrik rakitan Teska seperti Model S dan Model
3 ternyata mampu mengubah arah permainan di industri otomotif dan berhasil meraup
pangsa pasar jenis kendaraan yang didominasi oleh mesin pembakaran internal.
Pandemi Covid-19 pun membawa momentum baru bagi mobil
listrik, membuat inovasi di segmen kendaraan listrik melesat dengan sangat cepat.
Perusahaan mobil lawas konvensional kini harus mampu bersaing dengan banyak
perusahaan baru, sedangkan Tesla sedang menikmati hasil perjuangan panjangnya
selama dua dekade untuk mengembalikan kendaraan listrik ke dalam peta industri
otomotif.
Lucid Motors memproduksi sedan super mewah dengan nama
‘Lucid Air' yang berpotensi menggerus pasar Mercedes S-Class. Sedangkan Rivian dan Bollinger Motors meluncurkan mobil
listrik jenis SUV yang memiliki daya jelajah hingga 600 km. Tak heran bila Porsche
pun kemudian ikut merombak seluruh pabriknya di Zuffenhausen agar menjadi
sentra produksi mobil listrik mereka seperti Taycan.
Transisi energi di sektor transportasi dari energi
fosil ke energi listrik tampaknya menjadi penyebab utama mengapa impor tembaga
China melonjak tajam. Demi menjaga segmen pasar mobil listrik murah maka China
terlebih dahulu berusaha mengamankan stok bahan konduktor listrik utama pada
kabel dan perangkat mobil listrik.
Komentar
Posting Komentar