Energi Kapal Hitam Komodor Perry di antara Stagnasi dan Restorasi serta Teknologi BBN Temuan Anak Negeri

 

Gambar: mit.sustech.edu

Kapal Hitam adalah nama yang diberikan oleh orang Jepang untuk kapal Angkatan Laut AS yang berlabuh pada 14 Juli 1853 di Pelabuhan Uraga, Prefektur Kanagawa, Jepang. Di bawah komando Komodor Matthew Perry, empat buah kapal perang bermesin uap berhasil memaksa Jepang membuka isolasi terhadap Dunia Barat dengan kekuatan militer.

Kata "hitam" itu sendiri menggambarkan asap hitam yang keluar dari mesin uap berbahan bakar batubara pada kapal-kapal Amerika tersebut.

Abad ke-19 adalah masa kejayaan bagi teknologi mesin uap, dan Komodor Perry merupakan tokoh penting dalam modernisasi Angkatan Laut Amerika Serikat, hingga disebut sebagai "Bapak Angkatan Laut Mesin Uap".

Amerika Serikat sendiri memang dikenal sebagai produsen besar mesin uap ketika itu, oleh sebab itu maka tingkat komponen lokal yang terserap dalam program modernisasi Angkatan Laut tersebut pastinya sangat besar.

Kekaguman orang Jepang pada kapal-kapal perang bermesin uap pun ternyata berhasil memicu lahirnya gelombang perubahan yang menjadi titik balik sejarah Jepang dalam dunia modern.

Sejak tahun 1603 Jepang berada dalam kekuasaan militer (shogun) Tokugawa. Shogun memegang kuasa penuh dalam menjalankan roda pemerintahan, sementara Kaisar hanya memegang otoritas simbolis semata.

Kedatangan kapal hitam Komodor Perry akhirnya membuka mata orang Jepang bahwa kekuatan militer mereka sudah sangat jauh tertinggal dari teknologi Barat. Hingga timbul revolusi politik pada tahun 1868 yang dikenal sebagai restorasi Meiji, mengakhiri era Keshogunan (pemerintahan militer) yang stagnan dan mengembalikan kekuasaan negara kepada Kaisar yang berkomitmen pada kemajuan bangsa.

Para restorator kemudian membangun kekuatan nasional di bawah institusi baru yang di dukung oleh sumber daya lokal sehingga dengan cepat Jepang terdorong ke urutan teratas dalam kekuatan regional Asia dan bahkan masuk dalam daftar sepuluh besar kekuatan dunia.

Energi kapal hitam Komodor Perry adalah simbol dari kekuatan industrialisasi, membuat rute pelayaran global tak lagi bergantung pada musim dan arah angin. Kepulan asap hitam dari batubara yang terbakar terbukti menjadi awal mula sejarah kontribusi sektor pelayaran pada peningkatan emisi karbon dunia.

Hingga era modern pun industri pelayaran masih merupakan penyumbang emisi karbon terbesar dunia akibat jenis bahan bakar yang digunakannya. Minyak berat yang juga dikenal sebagai bahan bakar bunker merupakan bahan bakar yang paling padat emisi.

Menurut laporan NPR pada akhir 2019, jika semua kapal di dunia dianggap sebagai satu negara, maka negara itu akan menjadi negara pencemar udara terbesar ke-6 di dunia.

Hal tersebut yang kemudian mendorong perusahaan pelayaran Korea HMM (Hyundai Merchant Marine) untuk memimpin inisiatif pengembangan bahan bakar nabati bagi mesin kapal. Dengan dukungan penuh dari Korea Bio Energy Association, Hyundai Heavy Industries, Korea Shipbuilding & Offshore Engineering, dan Korean Register of Shipping, mereka berhasil mengembangkan dan mempromosikan alternatif bahan bakar kapal laut yang ramah lingkungan.

Gambar: pikist.com

Lantas bagaimana peluang Indonesia dalam industri pengolahan BBN untuk kapal laut?

Bahan bakar nabati (BBN) terbuat dari biomassa, termasuk pula minyak dari lemak hewani bersama dengan produk yang berasal dari bahan bakar biodiesel yang beredar saat ini.

Disadari benar bahwa energi memegang peran strategis pada sektor ekonomi, pemenuhan devisa, politik, dan ketahanan nasional, sehingga perusahan energi plat merah layaknya Pertamina juga harus ikut bertanggung-jawab untuk mengembangkan cadangan energi baru dan terbarukan (EBT) dari BBN sebagai sumber daya masa depan.

Indonesia sangat kaya akan pohon-pohon potensial penghasil minyak lemak. Ditengah impor BBM hingga ribuan barel per hari, produksi minyak lemak Indonesia malah jadi yang terbesar di dunia. Dengan laju produksi Crude Palm Oil (CPO) per tahun mencapai 31 juta ton, maka nilai ini setara dengan produksi 600.000 barel per hari minyak bumi.

Lebih dari itu, pakar dari Fakultas Teknologi Industri ITB Bandung, Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja mengungkap fakta yang jarang diketahui banyak orang yaitu Indonesia juga memiliki potensi menghasilkan minyak lemak melalui mikroalga. 

Satu hektar mikroalga terbukti mampu menghasilkan minyak lemak nabati sebanyak 30 kali lipat dibandingkan minyak sawit per tahun. Mikroalga bisa ditemukan segala tempat di Indonesia, baik di sungai, danau, dan pesisir pantai. 

Berangkat dari fakta tersebut, maka pakar ITB itu berpendapat bahwa Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan potensi BBN ini dan berharap dapat dipasarkan pada tahun 2030

Pertamina Research & Technology Center (RTC)-ITB sudah mampu membuat bahan bakar dengan memakai 100% bahan nabati. Pada bulan Juli yang lalu, mereka berhasil merealisasikan hal tersebut dengan meluncurkan produk D100.

Target Pertamina adalah memulai produksi Biodiesel 100 persen atau B100 di 2021 sebanyak 6 ribu barrel per hari di Kilang Cilacap, Jawa Tengah.

Artinya Indonesia kini sudah memiliki kekuatan nasional yang di dukung oleh sumber daya lokal, yaitu bahan baku dan teknologi BBN.

Industrialisasi energi melalui pabrik BBN akan dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan dengan kilang minyak biasa. 

Kemudian ukuran pabrik BBN dengan kapasitas sebesar 50-400 ribu ton per tahun sudah layak untuk dibangun, bandingkan dengan kilang minyak biasa baru ekonomis jika ukurannya 6 juta ton per tahun. 

Dengan kapasitas kecil, maka pabrik BBN tentu akan lebih mudah ditempatkan pada setiap Provinsi sehingga mampu menyerap tenaga kerja lokal bersama dengan pemerataan pembangunan.

Penyebaran pabrik BBN ini secara alamiah akan menumbuhkan perekonomian lokal dengan cara menyerap bahan mentah lokal dan memasok kebutuhan lokal. Tabel Input-Output produksi setiap daerah akan lebih cantik tampilannya jika ini terjadi.

Perluasan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) sebagai pengganti bahan bakar fosil di industri pelayaran nasional akan menjadi terobosan layaknya terobosan yang dilakukan oleh Komodor Perry. 

Mandatori biodiesel pada kapal laut akan sangat efektif untuk menekan impor BBM, menghemat anggaran, dan mewujudkan impelementasi penggunaan energi bersih yang ramah lingkungan.

Teknologi BBN temuan anak negeri tentunya diharapkan mampu mendorong posisi Indonesia naik ke urutan atas dalam kekuatan regional Asia, dan bahkan membuka peluang bagi kita untuk masuk dalam daftar sepuluh besar produsen energi bersih dunia.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia