Investasi Tiga Pemain Besar Migas (Shell, BP, dan Equinor) di Sektor Energi Terbarukan Semakin Gencar

Tanpa diketahui banyak orang ternyata ada peran besar beberapa raksasa migas dalam transisi energi dunia saat ini. Ibarat dalam sebuah permainan, mereka memilih untuk menaikkan taruhan secara signifikan pada energi terbarukan (EBT) dengan membatalkan mega proyek migas yang telah direncanakan sebelumnya.

(Gambar: i.ytimg.com)

Lebih dari 1.400 GW kapasitas energi terbarukan dunia bertambah dalam kurun 2010-2019. Badan Energi Internasional (IEA) mengharapkan pertumbuhan tersebut semakin tinggi dan memperkirakan akan ada tambahan instalasi sekitar 1.200 GW untuk periode 2019-2024. 

PLTB lepas pantai diharapkan bertambah tiga kali lipat atau setara dengan 4% dari 1.200 GW. Tujuan energi berkelanjutan jangka panjang dari perusahaan migas dan kebijakan pemerintah serta penurunan biaya peningkatan bauran energi terbarukan menjadi faktor utama yang mendorong ekspansi pasar EBT.

Mari kita lihat tiga perusahaan asal Eropa yang secara agresif menargetkan investasi besar-besaran di sektor EBT.

Yang pertama adalah Royal Dutch Shell, perusahaan minyak terbesar di Eropa berdasarkan kapitalisasi pasar. 

Pada bulan April tahun ini, Shell mengumumkan sasaran dekarbonisasi secara agresif, termasuk bebas emisi manufaktur pada tahun 2050, mengurangi sekitar 65% emisi dari produk pada tahun 2050 dan sekitar 30% pada tahun 2035. Saat ini Shell memiliki PLTS dengan kapasitas 1,6 GW, PLTB 0,23 GW, dan sedang mengerjakan proyek PLTB sebesar 759 MW dari 5 GW yang ditargetkan. Disamping itu juga mereka baru saja meluncurkan tarif baru untuk penyimpanan tenaga surya bagi pelanggan rumah tangga di Inggris.

Yang kedua adalah British Petroleum (BP), yang tidak hanya ingin meningkatkan portofolio energi terbarukannya tetapi juga ingin mendominasi pasar energi terbarukan.

BP berencana memangkas produksi minyaknya sebesar 40% , dan mulai membelanjakan $ 5 miliar per tahun untuk investasi EBT hingga tahun 2030, sepuluh kali lipat jumlah yang dibelanjakan pada tahun 2019. Mereka menargetkan 50 GW kapasitas pembangkit listrik EBT di 2030, 19 kali lebih besar dibandingkan kapasitas 2019.

(Foto: equinor.com)

Terakhir adalah Equinor, perusahaan minyak dan gas bumi terbesar asal Norwegia yang energi dalam negerinya 97% dipasok dari PLTA alias tidak bergantung pada bahan bakar fosil

Karena kemandirian energi dari EBT tersebut maka Norwegia meraup untung besar dari ekspor besar-besaran cadangan migas di bagian Laut Utara Norwegia. Tapi setelah puluhan tahun mengebor Equinor sepertinya beranggapan bahwa eksploitasi migas Laut Utara mungkin masih menguntungkan hanya sampai 2030. 

Demi kelangsungan bisnisnya, perusahaan tersebut memutuskan untuk memanfaatkan garis pantai negaranya yang panjang dan dangkal, mengantarkan Norwegia menjadi negara terdepan dalam pengembangan ladang angin lepas pantai.

Kesamaan Langkah Tiga Perusahaan

Sejak awal ketiga perusahaan tersebut merasakan dampak ekonomi dari pandemi COVID-19, mereka secara bersama-sama telah memangkas pengeluaran, meningkatkan hutang, dan memotong dividen sehingga kemudian mengumumkan komitmen besar untuk netralitas karbon pada tahun ini.

Pada bulan April, Shell dan Equinor memotong 2/3 dividen sedangkan BP memotong setengah dividennya di awal Agustus ini.

Tentunya langkah bisnis tiga perusahan migas internasional ini akan berdampak pada sektor energi nasional negara lain, tak terkecuali juga sektor energi Indonesia. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia