Batubara Bisa Ramah Lingkungan Kalau Menggunakan Teknologi UCG
![]() |
Skema UCG / Gambar: globalsyngas.org |
Pada awal abad ke-20, industrialisasi telah membuat langit di kota-kota besar dunia tertutupi asap tebal dari mesin pabrik dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Hal itu kemudian membuat Sir William Ramsay, salah satu ilmuwan Inggris yang terkemuka pada zamannya, mempromosikan penerapan ide gasifikasi batubara bawah tanah yang dalam bahasa asalnya disebut sebagai underground coal gasification (UCG).
UCG merupakan teknologi pemanfaatan batubara yang dilakukan tanpa proses penambangan melainkan melalui konversi batubara secara in-situ. Udara atau oksigen disuntikkan melalui sumur injeksi supaya lapisan batubara mengalami proses pembakaran yang menghasilkan gas.
Tentunya gas tersebut dialirkan ke atas melalui sumur produksi untuk diolah menjadi bahan bakar dan bahan penggunaan industri kimia lainnya. Sebagian dari hasil gasifikasi dapat berguna untuk menghidupkan pembangkit listrik dan sebagian lagi dapat berfungsi sebagai bahan sintesis (syngas) seperti hidrogen, metanol atau bahan kimia gas lainnya.
![]() |
Skema Proses Carbon Capture Storage Dalam Tambang UCG / Gambar: Cluff Natural Resources via dailyrecord.co.uk |
Kelebihan teknologi UCG terletak pada sifatnya yang lebih ramah lingkugan dibandingkan dengan cara penambangan. Disamping juga karena secara ekonomi batubara kini tak layak lagi untuk ditambang karena negara-negara Eropa selaku konsumen sudah meninggalkan PLTU batubaranya.
Sedangkan kelemahannya ada pada potensi subsiden yang mungkin akan disebabkannya dan juga kemungkinan tercemarnya air tanah dengan bahan kimiawi. Dan ini lumrah dalam dunia energi, sebersih apa pun klaim terhadap suatu jenis energi, dampak lingkungannya tetap akan timbul.
Maka perencanaan AMDAL yang baik tentu menjadi keniscayaan ketika metode ini hendak diaplikasikan di lapangan. Karena proses pembakaran pada UCG dilakukan di bawah permukaan, maka abu sisa pembakaran tetap tersimpan dalam tanah dan tidak akan mencemari udara. Selain itu gas hasil pembakarannya mayoritas berupa Nitrogen sehingga berperan dalam mengurangi efek rumah kaca.
Keunikan lain dari proses pemanfaatan batubara dengan metode UCG adalah kemampuannya untuk mengumpulkan ahli Teknik Geologi, Teknik Pertambangan, dan Teknik Perminyakan dalam satu waktu secara bersamaan.
Di Indonesia saat ini, UCG masih dalam tahap riset dan ujicoba serta belum dikembangkan pada tahapan komersial. Litbang Tekmira optimis jika teknologi ini dapat mengurangi permasalahan lingkungan, mengoptimalkan pemanfaatan batubara yang tidak ekonomis dan sangat memungkinkan untuk menutupi kekurangan energi dalam negeri yang berasal dari minyak dan gas bumi (migas).
Sementara diketahui bahwa di Ukraina, Donetsk Institute of Coal Chemistry (DUKhI) yang menjalankan proyek UCG Uni Soviet sukses mengembangkan UCG yang menghasilkan gas dengan nilai bervariasi antara 937 dan 2472 kcal / m3 dan pada tahun 1937–1938 gas yang dihasilkan disuplai ke pabrik kimia setempat.
Dikabarkan pula jika BUMN PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sebenarnya sudah memiliki rencana untuk menggarap proyek gasifikasi batu bara sebagai bagian dari langkah hilirasasi batubara.
Langkah hilirisasi batubara ini penting karena selain dapat meningkatkan nilai tambah batu bara dalam negeri juga dapat membantu pencapaian target Energi Baru Terbarutan (EBT) 23% dalam bauran energi nasional.
Berdasarkan ketentuan yang dipahami dari peraturan yang mengatur tentang definisi energi di Indonesia, UCG termasuk dalam kategori energi baru. Sebab energi baru tersebut meliputi nuklir, hidrogen, CBM (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Artinya, jika kita mampu mengembangkan energi batu bara menjadi produk yang ramah lingkungan maka output-nya bisa diperhitungkan sebagai bagian dari produk EBT.
Komentar
Posting Komentar