KILAS BALIK DEREGULASI DAN RESTRUKTURISASI KEGIATAN USAHA HILIR MIGAS

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Deregulasi dan restrukturisasi kegiatan usaha hilir migas Indonesia menjadi topik yang ramai diperbincangkan pasca era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana setelah mengumumkan pencabutan subsidi BBM dengan menaikkan harga jual Premium dan Solar dari masing-masing Rp. 6500 dan Rp 5500 menjadi Rp 8500 dan Rp 7500 pada 18 November 2014; Pemerintah menurunkan kembali harga jual masing-masing produk BBM tersebut pada 1 Januari 2015 menjadi Rp 7600 dan Rp 7250 dan turun ke level harga Rp 6600 dan Rp 6400 pada 19 Januari 2015.

Fluktuasi harga BBM tersebut merupakan dampak dari kebijakan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagaimana yang diumumkan pada 31 Desember 2014 oleh Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil tentang penetapan formula harga eceran BBM yaitu harga dasar ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) dikurangi subsidi.


Pasar ideal bagi BBM telah menjadi sasaran daripada deregulasi dan restrukturisasi kegiatan usaha hilir migas Indonesia sejak tahun 2002.


Sumber: Paparan WORKSHOP PENGELOLAAN HULU – HILIR MIGAS ENERGI & CARBON CREDIT NAD Banda Aceh, 16 – 17 Juni 2009


Kegiatan usaha hilir (downstream) migas sejak UU 22/2001 diarahkan pada proses liberalisasi.  Pertamina tidak lagi mendominasi kegiatan usaha pengilangan, penyimpanan, ekspor-impor dan transportasi dengan dibukanya kran untuk perusahaan swasta, termasuk asing untuk dapat berpartisipasi dalam bisnis ini.

Namun menurut kajian para pakar energi, sebagaimana yang disampaikan oleh Perencana bidang energi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Hanan Nugroho  pada Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004; lambannya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai kelanjutan dari UU 22/2001 tersebut, yaitu PP Hulu dan PP Hilir, telah menghasilkan jeda waktu yang panjang bagi kepastian iklim berusaha di bidang minyak dan gas bumi di Indonesia yang berakibat pada kelesuan investasi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena Dirjen Migas dan BPH Migas belum benar-benar merincikan secara jelas tentang rencana pengembangan infrastruktur penyediaan BBM dan jaringan gas bumi nasional serta pengaturan mengenai harga, baik untuk berbagai jenis BBM maupun untuk biaya pengangkutan gas bumi (toll fee) yang sesuai dengan respon pasar di kegiatan usaha hilir migas.

Kemajuan yang lamban tersebut tentu saja dipengaruhi oleh beberapa pokok masalah yang umum terjadi pada penerapan kebijakan di sektor energi. Hal tersebut tampaknya telah diketahui dengan jelas oleh Menteri ESDM di kabinet Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Sudirman Said sebagaimana yang telah dipaparkannya pada acara seminar nasional Pengelolaan Migas diWilayah Aceh, 27 Desember 2014 di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Menteri ESDM menyatakan bahwa untuk mereformasi tata kelola migas Indonesia mau tidak mau harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang diantaranya adalah keengganan dari “para pemain lama” (incumbent) untuk beradaptasi dengan iklim investasi baru sehingga menyebabkan pertentangan kepentingan yang sangat besar.

Bagi para pemerhati sektor kebijakan energi, apa yang disampaikain oleh Menteri ESDM tersebut tampak jelas pada alotnya pembahasan tentang wilayah “abu-abu” yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan antara Ditjen Migas dengan BPH MIGAS ketika membicarakan topik pemberian izin usaha pengolahan dan distribusi BBM  serta wilayah distribusi gas bumi dalam hal pengelolaan hilir. Hingga akhir tahun 2004 kita menyaksikan bahwa Kementerian ESDM belum merampungkan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional yang tentunya menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi BPH Migas dalam menyiapkan perizinan investasi.

Sejalan dengan prinsip reformasi tata kelola migas, Menteri ESDM Sudirman Said pada kesempatan yang sama mendorong meritokrasi dan profesionalisme di segala lini pelaksana urusan pemerintahan tidak terkecuali Pemerintah Daerah. Mungkin yang mendasari hal tersebut adalah Menteri ESDM telah melihat dengan kasat mata bagaimana Pemerintah Daerah saat ini menjadi bagian dari fenomena “incumbent” yang tidak ingin beradaptasi karena telah nyaman pada posisi 
“rent seeker” di bisnis energi yang tak terkecuali pada sektor hilir migas.

Maraknya kegiatan pemungutan “rente” melalui legalisasi berbagai jenis perizinan yang “terlalu” dipaksakan seperti izin penimbunan bagi SPBU, izin gangguan, izin penggunaan jalan bagi truk tanki dll yang keseluruhan izin tersebut tidak membutuhkan apalagi mencerminkan kompetensi aparatur pemerintahan dalam memberikan jasa publik.

Perizinan yang merupakan salah satu bentuk pelayanan administratif dalam pelayanan publik bagi BADAN USAHA dengan orientasi profit motive sepatutnya tidak menjadi wilayah “operasi” pengalangan Pendapatan Asli Daerah. Prinsip pelayanan publik sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menyebutkan:

“Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”

Akan lain halnya apabila Pemerintah Daerah fokus pada jasa publik/layanan umum dalam bentuk Sertifikasi Uji Mutu/Kelayakan limbah pada Badan Usaha penyalur BBM, ataupun Uji Laik Operasi Pembangkit Listrik (generator set) dsb dimana jasa tersebut sebagaimana layaknya jasa konsultansi dapat dikenakan biaya tertentu dalam bentuk biaya langsung personil tenaga ahli dan non-personil untuk perawatan peralatan pengujian dimana tidak bertentangan dengan prinsip pelayanan publik maupun peraturan perundang-undangan. Jasa publik tersebut tentu saja baru dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah hanya apabila kompetensi aparatur daerah telah memadai (adanya Tenaga Ahli yang bersertifikasi keahlian tertentu) sehingga segala sektor jasa konsultansi dimana Pemerintah memiliki previlege padanya mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia