ISU TENTANG SUBSIDI BBM

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Karena tulisan ini hanya uraian naluriah saja, maka terlebih dahulu ditegaskan bahwa segala premis-premis berikut hanya valid apabila pengembangan kompetensi SDM Nasional, penyederhanaan regulasi yang akuntabel dan transparan serta penegakan hukum yang tepat dan profesional telah dilaksanakan.

Sejak tahun 2005 saat periode awal era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terobosan kebijakan fiskal untuk melakukan degradasi subsidi BBM secara periodik terus-menerus dilakukan, dan acap kali pula menuai kontroversi yang cenderung bersifat kasuistik. Diantaranya adalah penggalangan aksi yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa dan partai politik di awal Maret 2012 dalam rangka menolak kebijakan pengurangan dan pembatasan BBM bersubsidi (klik disini untuk menyimak beritanya), dimana sebelumnya pada akhir September 2005 drama penolakan dengan tema yang sama juga terjadi (klik disini untuk menyimak beritanya).

Menurut penelusuran Diop (2014), subsidi BBM telah menyedot 21% APBN (Rp. 212 trilliun) pada tahun 2012. Namun pada saat harga minyak dunia turun drastis di tahun 2009, hanya 10% APBN yang terserap untuk BBM bersubsidi.


Adapun fluktiasi harga minyak Indonesia sendiri sejak tahun 2005 sebagai berikut:

Sumber Data: KESDM 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 



Gap antara harga subsidi vs harga pasar BBM memberikan beban fiskal yang besar bagi keuangan Pemerintah, premise awal yang sangat mendasar adalah peningkatan subsidi BBM akan dipengaruhi oleh pertumbuhan harga minyak bumi dan pertumbuhan harga rata-rata BBM bersubsidi Nasional. Setelah menelusuri data yang ada di Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, diperoleh perkiran pertumbuhan dari variabel-variabel tersebut yaitu:


Analisis regresi linier terhadap variabel pertumbuhan nominal subsidi BBM menunjukkan bahwa variabel tersebut secara signifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ICP dan pertumbuhan harga rata-rata BBM bersubsidi secara berturut-turut signifikan pada tingkat kepercayaan 99% (p-value 0.004) dan 90% (p-value 0.068).

Koefisien ICP sebesar 1.959 mengindikasikan bahwa beban fiskal subsidi BBM sangat elastis dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak bumi, seakan-akan setiap 1% peningkatan harga minyak bumi akan menambah beban fiskal sebesar ±2% dari tahun sebelumnya. Sedangkan hubungan beban fiskal tersebut dengan harga rata-rata BBM bersubsidi bersifat inelastis (koefisien 0.405) namun tetap memberikan pengaruh positif terhadap beban fiskal dari BBM bersubsidi.

Data pergerakan harga-harga sejak tahun 1984 (Sumber Data: ADB) memperlihatkan bahwa fluktuasi harga (inflasi) merupakan suatu keniscayaan yang tidak ada kaitannya dengan perubahan kebijakan fiskal terhadap BBM bersubsidi, keadaan sebelum tahun 2005 memperlihatkan pergerakan indeks harga konsumen, makanan dan perdagangan besar tetap terus bergerak setiap tahunnya dimana rata-rata perubahan indeks-indeks tersebut diatas level 15%.

Sedangkan pergerakan indeks-indeks yang sama pada periode setelah adanya perubahan kebijakan fiskal dalam subsidi BBM cenderung lebih terkendali dimana rata-rata pergerakannya dapat ditekan pada level 10%. Bahkan selama periode 2007-2013 dimana Pemerintah lebih aktif dalam memainkan perannya untuk mengurangi dan membatasi kuota BBM bersubsidi, rata-rata perubahan tahunan indeks harga konsumen, makanan dan perdagangan besar berturut-turut hanya berkisar pada 5.31%, 8.56%, dan 4.43%.

Bertolok-ukur dengan bukti empiris tersebut, tudingan publik bahwa Pemerintah yang “tega” mencabut subsidi BBM sebagai kelompok orang-orang yang tidak peka terhadap kebutuhan rakyat tampaknya perlu ditinjau kembali dengan seksama. Karena secara naluriah pun dapat dirasakan bahwa subsidi BBM yang berkelanjutan secara bertahap akan berdampak luas dalam jangka panjang, diantaranya: inflasi, kemiskinan dan pengangguran, daya saing industri, pertumbuhan ekonomi, ketahanan fiskal nasional, dan ketahanan energi.

Inflasi
Secara harfiah kemerosotan nilai uang (kertas) krn banyaknya dan cepatnya uang (kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Secara istilah sederhananya inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum DAN terus menerus. Karenanya, kenaikan harga-harga akibat pencabutan subsidi BBM yang hanya berlaku sesaat bukanlah keadaan inflasi yang patut disematkan sifat “horor” padanya.

Inflasi yang paling mendasar disebabkan oleh desakan biaya (cost push inflation ), misalnya pada kondisi depresiasi/melemahnya nilai tukar Rupiah, menyebabkan harga barang impor naik yang berujung pada inflasi di Indonesia. Impor komoditi tertentu sangat krusial bagi perekonomian nasional dimana barang-barang impor tersebut diantaranya merupakan bahan baku bagi industri nasional seperti industri otomotif dan tekstil yang kemudian menjadi komoditas ekspor Indonesia setelah diolah menjadi barang jadi dengan nilai tambah bagi perekonomian nasional.

Kondisi cost push inflation akan semakin parah apabila peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price) ternyata merupakan komoditi impor (bukan hasil produksi dalam negeri), perlu diingat bahwa BBM saat ini merupakan komoditi impor sehingga semakin lama dipertahankan sebagai barang bersubsidi maka semakin lemah pula kondisi keuangan Pemerintah dalam membiayai pembangungan infrastruktur jangka panjang.

Kemiskinan dan Pengangguran
Beban fiskal akibat subsidi BBM mau tidak mau akan menekan kemampuan Pemerintah dalam membiayai infrastruktur yang menjadi landasan utama terciptanya peluang kerja untuk pengentasan kemiskinan. Potret belanja pemerintah pusat dalam periode 2007-2013 memperlihatkan bagaimana belanja subsidi BBM mampu menekan porsi belanja modal Pemerintah Pusat. Sekilas terlihat pula hubungan linier positif antara inflasi dan porsi subsidi BBM dalam belanja Pemerintah Pusat.



Lebih dari pada itu, Misdawita, A. dan Arini Putri Sari dalam Ekonomi & Kebijakan Publik, 4, No. 2,Desember 2013 membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan efektif dalam mengurangi angka kemiskinan, namun tidak dengan pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan dan subsidi akibat tidak tepat sasarannya pengguna subsidi di lapangan.

Daya saing industri
Menurut catatan International Institute for Management Development (IMD), lemahnya daya saing industri Indonesia salah satunya akibat dari keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.

Standardisasi nasional produk industri, pengembangan infrastruktur yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan sektor industri, serta peningkatan kompetensi tenaga kerja belum sepenuhnya berjalan optimal karena keterbatasan sumberdaya dalam hal ini termasuk sumber pembiayaan yang digerus oleh beban fiskal subsidi BBM yang membengkak dari tahun ke tahun sejak era 70an. Tidaklah berlebihan kiranya jika diduga kuat bahwa kebijakan subsidi BBM secara tidak langsung telah membantu terciptanya kemerosotan daya saing industri nasional.

Dampak yang panjang dari rendahnya daya saing industri adalah gagalnya upaya pengentasan kemiskinan dimana varian dari lapangan usaha yang mampu menyerap tenaga kerja tidak terbentuk namun disisi lain daya tahan lapangan usaha sektor pertanian pun semakin berkurang sehingga tak terelakkan dampaknya pada pertumbungan angka pengangguran di Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi tercipta dari berbagai proses, diantaranya adalah pertumbuhan penduduk sebagaimana yang menjadi penentu perkembangan beradaban bangsa-bangsa pada masa lalu, namun proses pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak dapat menjamin peningkatan taraf kehidupan masyarakatnya tanpa adanya proses lain sebagai pendukungnya.

Proses pendukung yang dimaksud adalah peningkatan produktivitas atau disebut juga sebagai daya produksi, yaitu peningkatan produksi per kapita yang umumnya diukur dengan pendapatan per kapita penduduk atau rasio pembentukan modal per kapita tenaga kerja (capital-output ratio). Daya produksi akan berkembang hanya apabila terwujudnya keahlian-keahlian tertentu secara individual yang dapat diorganisasikan untuk menghasilkan produk-produk yang dapat dipasarkan, keahlian-keahlian yang dimaksud merupakan bentuk nyata dari keberhasilan pengembangan sumber daya manusia.

Kontribusi keahlian-keahlian tersebut dalam meningkatkan daya produksi akan semakin nyata apabila juga didukung oleh investasi barang modal (peralatan, mesin, dsb) yang sesuai dengan keahlian-keahlian yang dimaksud. Tak ayal lagi, ketersedian sumber energi yang murah, handal, aman dan ramah lingkungan menjadi suatu keniscayaan dalam proses pertumbuhan ekonomi.

Permasalahan pertumbuhan ekonomi yang paling mendasar adalah menentukan arah pembangunan dengan menetapkan sektor-sektor unggulan dimana daya produksi dapat meningkat secara optimal. Lebih daripada itu, arah pembangunan juga harus dapat menentukan cara yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan produktivitas sektor-sektor unggulan tersebut.

Menyimak permasalahan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dijabarkan diatas maka secara naluriah pun setiap orang akan sadar bahwa proses pembangunan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Apalagi kemampuan keuangan pemerintah yang terbatas, sepatutnya pemanfaatan sumber daya yang ada tidak secara serampangan digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat seperti halnya subsidi BBM.

Secara jangka pendek patut untuk tidak disanggah bahwa pencabutan subsidi BBM akan berdampak pada peningkatan harga-harga beberapa kebutuhan pokok masyarakat apabila terjadi kenaikan tarif jasa transportasi. Namun secara perlahan dan pasti, perekonomian akan kembali stabil setelah beradaptasi dengan posisi kesetimbangan yang baru. Terlebih kondisi pasar minyak dunia terus menerus menunjukkan kecenderungunan penurunan harga yang tentunya akan diikuti pula oleh penurunan harga BBM non-subsidi nasional.

Ketahanan Fiskal Nasional
Subsidi energi telah melahirkan budaya konsumsi berlebihan terhadap komoditas energi. Fungsi kesetimbangan pasar dan harga tidak terwujud sama sekali, hal ini pula yang membentuk pola pikir masyarakat secara umum yang meremehkan anugerah sumber daya alam sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Lambannya proses kelahiran sektor-sektor unggulan menjadikan pemerintahan kekurangan sumber pendapatan dalam anggaran belanjanya, sebagai akibat dari rendahnya kompetensi industri dalam negeri untuk bersaing menjadi komoditas ekspor produk-produk dengan nilai tambah yang responsif terhadap kebutuhan fiskal nasional. Ditambah lagi dengan rendahnya daya beli domestik sehingga tidak menjadi pasar pengganti bagi komoditas ekspor yang tentunya menekan pendapatan pemerintah dari sektor pajak dalam negeri.
Lihat Asefa, S. 2005 untuk ulasan yang lebih mendalam tentang kegagalan kebijakan subsidi dalam mempertahankan perekonomian nasional yang berkelanjutan. 


Ketahanan Energi
Bagian ini merupakan kutipan dari makalah pribadi saya saat diberi kesempatan sebagai pemateri dalam Seminar Renewable Energy yang diselenggarakan oleh PAJ dan DAAD pada 21-22 September 2013 di Banda Aceh.


Sepanjang terus menerus melakukan subsidi BBM, kemajuan teknologi di Indonesia dikhawatirkan tidak akan pernah mencapai tingkat karakteristik teknologi  ramah lingkungan dan berefesiensi (eko-efisiensi). Kebijakan energi belakangan ini terlalu banyak berfokus pada pengendalian pencemaran namun tidak mampu berkontribusi dalam mengurangi penyebab tidak langsung dari kerusakan lingkungan seperti distribusi pendapatan, kesetaraan pendidikan dan kesempatan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan karena orang-orang berpenghasilan rendah di daerah pedesaan selalu dipaksa untuk menggunakan barang dan jasa yang mahal serta tidak efisien sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk menyediakan dan memanfaatkan barang dan jasa yang berkarakteristik eko-efisiensi. Singkatnya, kebijakan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil perlu dikombinasikan dengan program besar pengentasan kemiskinan; jika tidak, maka masalah kesenjangan sosial antara masyarakat pedesaan dan perkotaan akan menghambat pengembangan sumber daya manusia dan selalu mendorong pertumbuhan ekonomi yang akan mengancam kelestarian lingkungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia