SEJARAH PENGELOLAAN MIGAS INDONESIA (Bagian Kedua)

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Sering dikatakan bahwa konsep PSC Indonesia terinspirasi dari tradisi penggarapan sawah di nusantara. Untuk itu maka tulisan saya kali ini merupakan imajinasi pribadi dalam usaha mereka-reka bagaimana konsep sederhana PSC Indonesia jika harus disesuaikan dengan tradisi tersebut.
Sebagai contoh, salah satu sistem “mawah” yang dipraktekkan di Aceh, khususnya di daerah Kemukiman Lubuk, Kab. Aceh Besar; dimana Pemilik Sawah dan Petani memiliki kesepakatan sbb:
Setiap hasil panen dibagi 3 dengan ketentuan: 1/3 bagi Pemilik Sawah, 1/3 untuk mengganti biaya produksi, dan 1/3 bagi Petani.
Jika dianalogikan dengan sistem PSC maka Pemilik Sawah adalah Pemerintah, dan Petani adalah Kontraktor Migas baik nasional maupun asing.
Agar lebih detil lagi,maka sawah yang akan digarapkan kita ibaratkan sebagai sawah yang waqafkan bagi mesjid Klik disini untuk keterangan tentangwaqaf, sehingga berfungsilah Imam Mesjid sebagai Pemerintah, dan Pengusaha sebagai penggarap sawah.
Lantas,apakah sesuai sekiranya seorang Imam Mesjid akan mengelola langsung penggarapan sawah yang dilakukan oleh Pengusaha? Tentunya akan sangat merepotkan sang Imam Mesjid saat beliau harus mengisi 5 waktu shalat berjamaah dalam sehari, ditambah lagi mengelola pengajian untuk anak-anak, kaum ibu dan bapak, kepengurusan remaja mesjid, tahjiz mayit, perayaan hari besar dsb.
Solusi pertama adalah Imam Mesjid tersebut menunjuk seorang wakil Imam urusan waqaf yang akan mengontrol pemanfaatan tanah sawah yang diwaqafkan tersebut. Namun mampukah seorang wakil Imam urusan waqaf untuk mengelola pemanfaatan tanah sawah tersebut dengan sendirinya. Akan sangat tidak mungkin karena tabiat waqaf tidaklah tertentu pada tanah sawah saja. Bagaimana mungkin wakil Imam tersebut dapat efektif bekerja jika pada waktu bersamaan harus mengurus harta-harta waqaf lainnya seperti Kitab2 dalam perpustakaan mesjid, perlengkapan shalat mesjid, belum lagi jika ada yang mewaqafkan tanah kebun, binatang ternak, kendaraan, dll bagi mesjid.
Solusi selanjutnya (kedua) adalah wakil Imam urusan waqaf mengajukan nama-nama calon penanggungjawab lapangan pengelolaan sawah Mesjid kepada Imam, kemudian Imam menetapkan penanggungjawab lapangan tersebut dengan kriteria setidak-tidaknya adalah orang memahami urusan persawahan. Penanggungjawab lapangan tersebut adalah anggota diluar birokrasi Mesjid, dan berfungsi sebagai Pengusaha Mesjid.
Pengusaha Mesjid tersebut haruslah dibatasi kewenangannya yaitu tidak boleh mengelola sawah Mesjid secara langsung, namun harus secara bersama-sama dengan petani yang akan menggarap lahan. Sehingga Pengusaha Mesjid tersebut tetap berfungsi sebagai supervisor sedangkan petani tetap sebagai operator.
Jika Pengusaha Mesjid diberikan hal untuk mengelola, maka akan ada konflik kepentingan akibat dari Pengusaha Mesjid nantinya akan bertindak sebagai supervisor sekaligus operator. Hal inilah yang mendasari ide pembatasan kewenangan Pengusaha Mesjid tersebut; dan tidak terlepas pula juga terinspirasi dari konsepsistem mawah dalam artikel Edi Masrudi. Masrudi (2011) mengatakan bahwa salah satu tipe sistem mawah; pemilik tanah turut berkontribusi dalam biaya produksi secara tunai di samping  kepemilikan tanah diperhitungkan sebagai pengeluaran tidak tunai. Besarnya sharing pembiayaan tunai dan tidak tunai lebih kurang adalah 45% ditanggung Petani dan 55% dibebankan pada Pemilik Sawah. Tipe sistem mawah yang kedua seperti sistem kontrak, dimana semua pembiayaan ditanggung petani penggarap; dan hanya pada posisi  beban  penggunaan tanah yang menjadi  tanggungan pemilik tanah sehingga porsi beban biaya produksi 74% ditanggung oleh petani dan hanya 26% dibebankan pada pemilik tanah. Dari ulasan Masrudi (2011) tersebut sistem PSC Indonesia tentu lebih mirip dengan sistem mawah tipe kedua yang berlaku di Aceh Besar.

Kesimpulan
Dari analogi diatas, maka dalam pengelolaan PSC di Indonesia, Pengusaha Mesjid tersebut adalah ibarat bagi SKK Migas Company, dan Petani sebagai Kontraktor Migas. Sedangkan wazir Imam urusan waqaf adalah ibarat bagi Menteri ESDM, dan Imam Mesjid sendiri adalah ibarat bagi Presiden.
SKK Migas Company adalah pengusaha yang ditunjuk Presiden berdasarkan usulan Menteri ESDM untuk melakukan supervisi terhadap segala pelaksanaan kontrak, sedangkan kontraktor merupakan operator yang ditunjuk sebagai pelaksana kontrak dibawah pengawasan SKK Migas Company.

Demikianlah konsep sederhana PSC Indonesia yang menurut argumen/pandangan pribadi penulis, semoga dapat berguna bagi komunitas masyarakat pemerhati migas dan ekonomi sumber daya alam Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia