SEJARAH PENGELOLAAN MIGAS INDONESIA (Bagian Pertama)

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Konon, minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak zaman kesultanan ditandai dengan penggunaan minyak mentah untuk membakar kapal-kapal Portugis selama perang Aceh-Portugis oleh armada Kesultanan Aceh sebelum modernisasi persenjataan di angkatan lautKesultanan tersebut

Perkembangan migas secara modern di Indonesia dimulai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871, yaitu di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda bernama Jan Reerink.
Sedangkan pengelolaan migas dengan sistem PSC sendiri baru dikenal sejak tahun 1965, dimana sebelumnya SDA miigas Indonesia dikelola dengan sistem konsesi (1899-1960) selama dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan P.T. Minyak Nasional Rakyat selama era 1945-1960; sedangkan di era 1961-1964 berlaku kontrak karya pengelolaan migas dimana beberapa perusahan yang sempat beroperasi di Indonesia saat itu adalah P.N. Permina, P.N. Pertamin dan Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia. Pada tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak nasional.
Sistem PSC sendiri sebenar sudah didengungkan sejak tahun 1960 oleh Ibnu Sutowo pendiri PN Permina, walaupun pada kenyataannya baru berlaku sepenuhnya sejak tahun 1965.
Prinsip-prinsip umum PSC adalah:
  1. 1)      Kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara;
  2. 2)      Kontraktor memperoleh keuntungan dari bagian produksi (contractor entitlement)
  3. 3)      Semua resiko ditanggung kontraktor;
  4. 4)      Semua aset/peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik negara sejak pertama kali masuk ke wilayah Indonesia;
  5. 5)      Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan migas dalam negeri (DMO) maksimum 25% dari contractor split
  6. 6)      Kontraktor wajib melatih dan memberdayakan tenaga kerja Indonesia

Evolusi sistem PSC di Indonesia dapat dirunut sebagai berikut:
PSC generasi pertama (1965 – 1975), dengan ciri khasnya:
-          Cost recovery dibatasi hanya 40% dari pendapatan total;
-          investment credit, 10%;
-          DMO – domestic market obligation, 25%, dengan harga 0,2/100 USD per barrel.

PSC generasi ke dua (1976 – 1988), dengan ciri khasnya:
-          cost recovery unlimited;
-          investment credit 25%;
-          DMO masih 25%, namun pada 5 tahun pertama dibayar sesuai harga pasar, selanjutnya baru dengan harga 0,2/100 USD per barrel.

PSC generasi ke tiga (1988 – sekarang), dengan ciri khasnya:
-          FTP (First Tranche Petroleum) sebesar 20%, yaitu bagian gross lifting yang akan langsung dibagi antara pemerintah dan kontraktor sebelum pengembalian cost recovery.
-          Investment credit antara 10-20%,
-          DMO sebesar 25%, dengan ketentuan 100% harga pasar pada 5 tahun pertama. Selanjutnya, dibayar 10% dari harga pasar dan secara gradual akan terus menurun.
Dengan sistem PSC generasi ke tiga tersebut, hal yang paling kontroversional di negeri ini adalah pada saat pemerintah menerbitkan UU 22 tahun 2001  yang sekaligus melucuti kewenangan PT. Pertamina sebagai kepanjangan-tangan pemerintah dalam pengelolaan kontrak migas dan menggantinya dengan BPMIGAS; yang kemudian dibubarkan dan berganti kulit menjadi SKKMIGAS akibat dari keputusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 sebagai tindak lanjut daripada permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama ormas dan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia.
Jika disimak lebih lanjut, proses kontrak migas pada dasarnya sama dengan proses tender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah lainnya. Hal ini dapat dilihat dari fungsi BP Migas/SKK Migas saat ini yang bertindak layaknya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Perpres 54 tahun 2010 jo. Perpres 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dengan beberapa pengecualian:
-          Kerangka Acuan Kerja (KAK) tidak disusun oleh BP Migas/SKK Migas namun disiapkan oleh Kontraktor sebagai Penawar;
-          Istilah KAK dan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) digantikan dengan Work Program&Budget (WP&B); jika pada tender Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) KAK&HPS disiapkan oleh PPK maka dalam tender migas à SKK Migas hanya tinggal menganalisis dan menyetujui biaya-biaya operasi yang diajukan oleh kontraktor untuk kemudian diserahkan kepada Menteri ESDM yang konon akan dibahas pula persetujuannya bersama Komisi VII DPR-RI

Namun tidak selayaknya kontrak bisnis:
  1. -          Kontrak ditanda-tangani oleh SKK Migas (perwakilan pemerintah) dan kontraktor dimana SKK Migas bukanlah suatu Badan Usaha, layaknya kontrak PBJP yang ditanda-tangani oleh PPK dengan Penyedia (kontraktor)
  2. -          Biaya pelaksanaan kontrak migas ditanggung kontraktor, sedangkan dalam PBJP ditanggung oleh Pemerintah melalui APBN/APBD sesuai dengan realisasi pekerjaan


Hal yang menjadi rancu adalah posisi SKK Migas tersebut, kalau biaya pelaksanaan kontrak migas dibebankan pada APBN/APBD maka tidak masalah SKK Migas berfungsi sebagai PPK khusus bidang jasa konstruksi migas. Namun saat biaya pelaksanaan kontrak migas ditanggung oleh kontraktor yang akan diganti oleh Pemerintah dari hasil produksi maka SKK Migas sepatutnya berbentuk sebagai badan usaha.

Hal ini tentu mengingatkan kita pada saat PT. Pertamina yang menjadi perpanjangan pemerintah saat PSC, apakah hal itu perlu dilakukan kembali? 

Menurut pandangan pribadi saya, jika BUMN yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah seperti PT.Pertamina dulu maka tetap akan menimbulkan persoalan lain karena BUMN perpanjangan tangan pemerintah sepatutnya tidak berfungsi ganda sebagai 1) perusahan migas yang secara individu dapat mengoperasikan suatu wilayah kerja (nanti PSC nya ditandatangi siapa dan siapa?); dan 2) perusahan migas yang dapat menanda-tangani PSC dengan kontraktor lainnya.

SKK Migas haruslah menjadi SKK Migas Company sebagai perusahan migas negara (BUMN) yang menguasai seluruh WK Migas di Indonesia,yang dalam pemanfaatannya melalui sistem PSC dimana setiap pemanfaatan potensi migas: SKK Migas Company melakukan perjanjian PSC dengan setiap pelaku usaha migas lainnya (baik BUMN seperti Pertamina maupun perusahaan lokal seperti Medco atau perusahan asing seperti Exxon Mobil).

Jadi kontrak PSC akan murni menjadi kontrak bisnis, dan mudah-mudahan dengan kontrak Bisnis to Bisnis ini performa SKK Migas Company juga dapat dipantau secara lebih mudah dari aspek financial perusahaan.



Komentar

  1. Masa depan Migas di Aceh 20 Tahun yang akan datang bagaimana Pak Fahrul?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hingga akhir 2013, belum ditemukan daerah baru di Aceh yang layak untuk dinyatakan memiliki Cadangan Terukur Minyak Bumi (Original Oil in Place, OOIP) maupun Cadangan Terukur Gas Bumi (Original Gas in Place, OGIP),

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biofuel Alga: Menjanjikan Namun Bisa Bikin Shell dan Chevron Putus Asa

Momok dari Kebijakan Restrukturisasi Harga BBM: Antara Mitos dan Fakta

Terserang Penyakit Mematikan dari Asap Tungku, Memasak dengan Kayu Bakar Masih Terus Merenggut Jutaan Nyawa Manusia